![]() |
| Dagangan Pigura Sukalila Selatan - Dipotret oleh Raihan |
Mèrtika, Cirebon - "Sukalila" merujuk pada nama sungai kecil atau anak sungai di Kota Cirebon, Jawa Barat. Sungai ini berada relatif di jantung kota yang menjadi titik temu antara ruang publik; aktivitas ekonomi, seperti Pedagang Kaki Lima (PKL); dan fungsi hidrologi kota, seperti drainase, pengairan, dan aliran air limpasan.
Dalam konteks sejarah, Sukalila bukan hanya kanal air. Pasalnya ia memiliki relasi ekologi, sosial, dan estetis. Dilansir dari Tempo, seorang koordinator Komunitas Pusaka Cirebon, Mustaqim Asteja, mengatakan bahwa perairan Sukalila merupakan jalur perdagangan komunitas Tiong Hoa.
Hal ini tercatat dalam manuskrip Cina, Shun Feng Hsiang Sung pada tahun 1430 Masehi. Dalam manuskrip tersebut menjadi oertanda bahwa permukiman orang Cina atau Pecinan telah ada. Bahkan secara spesifik menjelaskan ciri utama Pecinan dekat dengan perairan. Pasalnya, ini mempermudah mobilitas komunitas Cina untuk berdagang.
Namun, belakangan Sukalila mengalami degradasi fungsi secara menahun. Diantaranya, pendangkangkalan sedimen, pengerasan bantaran, sampah plastik dan domestik, serta keterbatasan ruang bagi air untuk mengalir ketika curah hujan tinggi. Fungsi aslinya sebagai saluran air menjadi terganggu dan acap kali membuat tergenangnya kawasan pemukiman ketika curah hujan ekstrim.
Pemerintah Kota Cirebon kemudian berencana melakukan penataan. Hal ini guna memitigasi banjir, menjadikan destinasi publik, keindahan kota, juga ruang bernapas hijau. Kendati demikian, upaya penataan pemerintah Kota memiliki potensi luka bagi pedagang kaki lima. Utamanya pengrajin pigura di sekitar kawasan Sukalila Selatan.
Mulanya Penataan Kawasan Sukalila
Sebelum wacana formal, masyarakat sekitar kawasan Sukalila telah lama merasakan dampak buruk Sungai Sukalila. Bahkan, keberadaan PKL dan bangunan di bantaran sungai sejak lama juga mulai dianggap mengganggu aliran serta ruang sempadan sungai yang seharusnya dilindungi.
Hal ini diperkuat dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air. Melalui pasal 45, mengatur tentang larangan pembangunan di sempadan sungai yang dapat merusak fungsi sungai. Kemudian UU Nomor 26 Tahun 2007 pasal 29, tentang Penataan Ruang, menyatakan sempadan sungai sebagai kawasan lindung yang tidak boleh digunakan untuk aktivitas yang mengganggu fungsi sungai.
Pada tahun 2021, terdapat program kerjasama antara Pemerintah Kota Cirebon dan Kementerian PUPR RI, bernama Kota Tanpa Kumuh (Kotaku) . Tujuannya untuk mengurangi wilayah kumuh melalui normalisasi sungai, sanitasi, dan penyediaan air bersih. Termasuk pengerukan sedimen yang diusulkan untuk di Kelurahan Kesenden.
Namun, upaya pada pemerintahan Azis-Eti itu belum mencakup keseluruhan normalisasi sungai. Fokusnya hanya ke aspek pemanfaatan sedimen dan perbaikan lingkungan. Hal ini juga terbentur dengan Covid-19 yang masih melanda pada tahun 2021.
Pada April tahun 2025, menjadi titik krusial terhadap kawasan Sukalila, terutama Sukalila Selatan. Wali Kota Cirebon periode 2024-2029, Effendi Edo memprioritaskan normalisasi Sungai Kedung Pane dan Sukalila. Bahkan pemkot akan menertibkan bangunan liar yang ada di bantaran sungai Sukalila.
"Kami ingin kawasan sungai tertata rapi, tapi tetap memperhatikan hak masyarakat. Penertiban akan dibarengi dengan pendekatan yang baik,” ujar Edo dikutip dari Jawapos.com
Pihak Balai Besar Wilayah Sungai Cimanuk-Cisanggarung (BBWS Cimancis) mendukung upaya Pemkot. Bahkan pihaknya menambahkan wacana terkait pembangunan kolam retensi untuk menampung air limpahan dari hulu. Hal ini sebagai bentuk mengantisipasi banjir ketika curah hujan tinggi.
Pada Mei 2025, mulai munculnya keberatan PKL terkait penertiban di bantaran Sukalila yang akam dilakukan pada bulan depannya, Juni 2025. Menurut pedagang, terutama pedagang pigura, mereka hanya enggan direlokasi ke tempat yang tertutup. Karena jelas akan mengurangi pendapatannya.
Penolakan ini bergulir hingga bulan Juni 2025. Sementara Pemkot bersama dinas terkait terus mematangkan upaya nyata pasca program pemerintahan sebelumnya, Kotaku, untuk menormalisasi sungai. Setelah itu pemeliharaan sungai Sukalila. Pihak Pemkot sempat mengendur dalam tindak lanjut penertiban.
Pedagang Sukalila: Bukan Menolak, Tapi Keberatan
Pada bulan Juli 2025, pihak Mèrtika mendapat keterangan dari salah satu pedagang selain pigura di Sukalila Selatan secara off the record. Ia menjelaskan bahwa para pedagang sepakat untuk tidak berargumentasi sejenak pada pertengahan bulan tersebut.
Hal ini disinyalir karena pada bulan sebelumnya, terdapat kekeliruan salah satu wartawan dalam menulis berita. Tulisan yang dimuat terdapat diksi "penolakan", sementara pedagang hanya keberatan untuk di relokasi.
Kekeliruan tersebut jelas memberi bumerang bagi para pedagang. Pasalnya, para pedagang mengakui bahwa mereka usaha mereka beridiri di tempat ilegal. Pertama mengacu pada UU No. 17 tahun 2019 dan UU No. 26 tahun 2007 yang mengatur soal wilayah bantaran sungai. Kedua, mereka tidak memiliki surat izin resmi untuk melakukan usaha di sana.
Keberatan pihak pedagang untuk direlokasi ke sejumlah pasar yang ada di Kota Cirebon, beragam alasannya. Salah satu Ketua Paguyuban PKL Macan Ali Sukalila Selatan, Budi mengungkapkan, bahwa mereka sudah dikenal pelanggan berdagang di Sukalila Selatan. Utamanya pedagang pigura yang sudah terkenal masyarakat di dalam dan luar Kota Cirebon.
Bahkan, ia memjamin bahwa memang di wilayah ini telah menjadi ikon kesenian Cirebon. Dengan adanya relokasi, terutama ke dalam pasar, ini akan menghimpit kuantitas pembeli.
"Kan kita sudah terkenalnya di sini mas. Coba kalau di relokasi ke dalam (pasar-pasar), mana ada orang yang mau beli. Belum lagi pembeli harus parkir atau apa," ujarnya pada Kamis, 9 Oktober 2025.
Ia juga mengakui bahwa legalitas dan keadaan sungai perlu segera diatasi. Namun ia juga mengharapkan bentuk nyata Pemkot untuk mengatasi dampak ekonomi keluarga pedanggang. Karena pedagang bukan hanya puluhan, melainkan ratusan.
Terhitung, para pedagang sepanjang ruas Sukukalila Selatan, dari jembatan ke jembatan, ada 150 pedagang aktif yang memperjuangkan nasib di sana. Bahkan jika dihitung dengan passif, bisa mencapai 200 lebih pedagang.
"Bayangin mas, ada 200-an pedagang kalu dihitung semua," kata Budi.
Di samping itu, Budi juga menunggu janji Pemkot bersama pihak terkait untuk melakukan sosialisasi dan diskusi dengan para pedagang. Sejak isu normalisasi dan relokasi, Pemkot berjanji akan melakukan pendekatan kepada para pedagang.
" ya kepada Sekda, Wali Kita dan dinas terkait pemerintah kota, ayo kita duduk bareng. Diskusi membicarakan baiknya gimana," pungkas Budi.
Pembenahan kawasan Sukalila menjadi bagian dari upaya pemerintah menata ruang kota agar lebih tertib dan aman dari risiko banjir. Namun di balik pengerjaan fisik dan normalisasi sungai, tersisa pekerjaan lain yang tak kalah penting: memastikan perubahan berjalan tanpa mengabaikan kehidupan warga yang telah lama bergantung pada kawasan itu.
Sukalila kini berada di persimpangan antara masa lalu dan masa depan, antara ruang yang dibersihkan dan kehidupan yang mesti beradaptasi. Bagaimanapun bentuk akhirnya nanti, kawasan ini akan menjadi cermin bagaimana kota belajar menata diri tanpa kehilangan jejak manusianya.
Penulis: Raihan Athaya Mustafa

0 Komentar