![]() |
| Zenal Arifin, Sol Sepatu Masbroo - Dipotret oleh Raihan |
Mèrtika, Cirebon - Di tengah jalan yang diteduhi oleh pepohonan besar serta bingkai-bingkai menggantung dan terpajang di sepanjang Sukalila Selatan, Terdapat lapak kecil dengan Tulisan " Sol Sepatu Masbroo". Di sini seorang ayah paruh baya bertahan dan menghidupi keluarga dengan menjahit sepatu sejak tahun 2016.
Pria berusia setengah abad berwajah cekat, sumringah dan penuh semangat. Tutur katanya hemat, namun diri dan waktunya siap mendekap sepatu yang haus akan perekat.
Ia adalah Zenal Arifin di balik etalase kayu yang dipenuhi alat perekat dan alas penapak sepatu. Mulai dari lem, benang, jarum, hingga pewarna bahan kulit dan kanvas tertata di meja kerjanya. Tak jarang juga secangkir kopi dan sebungkus rokok kretek yang siap menemani tatkala Zenal menyulam sepatu robek.
Zenal Arifin dan Sol Sepatu
Mulanya ia hanyalah seorang perangkai dekorasi sejak masa bujang, sekitar tahun 1993. Bersama tim kecilnya, ia kerap memberi warna pada pelaminan dan panggung-panggung acara.
Namun pada 1997, arah hidupnya bergeser, ia menjadi satuan pengamanan dengan sistem kerja alih daya di sebuah bank dan perusahaan kartu perdana. Selama sepuluh tahun, kesigapannya menjaga pintu masuk menjadi rutinitas yang menuntut keteguhan.
“Dulu saya kerja apa saja, Mas. Pernah di bank, jadi security, tapi karena kontraknya terbatas, ya cuma sepuluh tahun. Lima tahun di bank, sisanya di Telkomsel,” ujarnya sambil menjahit sepatu di tangannya.
Usai kontrak terakhirnya berakhir pada 2007, ia kembali ke dunia lama: merangkai bunga dan menata dekorasi hingga 2016. Baru setahun setelah itu, ia menemukan jalan baru yang lebih tenang. Keputusan dia untuk bekerja secara mandiri mengantarkannya ke ruas jalan Sukalila Selatan pada tahun 2017.
Ia duduk, berbincang, dan memperhatikan sirkulasi pelanggan para penjual karya dan jasa. Kala itu, sedikitnya ada pengrajin pigura, pangkas rambut, dan sol sepatu yang kian menjamur satu per satu.
"Ya karena saya orang sini, rumah orang tua di situ, ya saya coba ikut nongkrong saja. Liatin tukang sol sepatu waktu itu, kan cuma beberapa. Terus lama-lama saya ingin coba," ucapnya sambil menunjuk gang ke arah rumahnya yang persis di seberang lapak.
Gesekan dengan Pemerintah dan Ruang Bertahan
Namun perjuangan Zenal tidak selalu berjalan mulus. Tahun keempat, menambal sepatu berubah menjadi ujian saat pandemi Covid-19 melanda pada tahun 2020. Ia masih ingat bagaimana patroli satgas, dinas terkait, hingga aparat pamong praja datang menegur para pedagang di kawasan itu.
Sebuah ironi terekam di ingatannya ketika seorang petugas berkata dengan nada persuasif, “Ayo, Pak, saya juga dilema sama atasan saya.” Zenal menjawab dengan ketegasan yang lahir dari perut yang lapar, “Dilema mana sama saya? Ibu ada gaji tetap dan tunjangan, saya gimana? Kalau Ibu berani kasih seratus ribu per hari, saya baru berani tutup.”
Ia paham betul peraturan yang berlaku usaha berbasis jasa masih diperbolehkan selama menjaga kebersihan. Di samping etalasenya, perangkat sanitasi lengkap ia sediakan, namun tetap saja tekanan datang dari berbagai arah.
Kini, bayangan ancaman kembali hadir. Program kolaborasi BBWS Cimanuk-Cisanggarung bersama Pemerintah kota Cirebon untuk penataan bantaran Sungai Sukalila Selatan membuat lapaknya kembali terancam sirna.
Zenal sadar, tanah tempat ia menancapkan harapan itu tak memiliki legalitas. Tapi ia bertahan, karena di situlah rezekinya, dan di situlah ia meletakkan harga diri sebagai pekerja kecil yang menolak menyerah.
Nazar dan Hasrat untuk Anak-anaknya
Di sela hiruk-pikuk pelanggan dan aroma lem yang menyengat, Zenal menyimpan sesuatu yang jauh lebih dalam dari sekadar keterampilan tangan: tekad untuk menemani tumbuh kembang dua anaknya. Ia ingin keduanya tidak hanya cukup makan, tetapi juga tumbuh dengan pendidikan yang layak.
Hasratnya itu menjelma dalam nazar yang sederhana tapi sarat makna. Setiap kali ada anak berseragam sekolah datang membawa sepatu rusak, ia tak pernah menarik bayaran.
“Saya malah punya nazar gini, Mas. Kalau ada anak yang ke sini mau beresin sepatu, terus dianya pakai seragam, bakal saya gratiskan,” ujarnya dengan nada lembut tapi tegas.
Bagi Zenal, memberi ruang pada anak-anak untuk tetap melangkah tanpa beban adalah bentuk doa yang nyata. Doa yang dijahit di sela benang, disulam di antara napas kerja, dan ditambal dengan kasih seorang ayah.
Di balik suara jarum yang menusuk kulit sepatu, terselip napas panjang seorang ayah yang tak pernah berhenti berjuang. Zenal tahu, rezeki bukan semata soal uang, melainkan kehadiran yang dijahit dari hari ke hari. Setiap benang yang ia selipkan adalah doa agar anak-anaknya tak pernah kehilangan arah, dan setiap sol yang ia rekatkan adalah ikrar seorang bapak yang tak akan membiarkan langkah keluarganya terlepas dari pijakan.
Di jalan kecil Sukalila Selatan itu, Zenal Arifin bukan sekadar tukang sol, namun ia adalah tangan yang menambal hidup, dan ayah yang diam-diam menjahit masa depan.
Penulis: Raihan Athaya Mustafa
Editor: Redaksi Mèrtika

0 Komentar