| Harry Saputra Gani, Effendi Edo, dan Fitrah Malik - Dipotret oleh Raihan |
Mèrtika, Cirebon – Polemik tunjangan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) mengemuka di salah satu akun Facbook Cirebon Kita. Akun tersebut memosting dokumen Peraturan Wali Kota (Perwal) Cirebon Nomor 5 Tahun 2025. Terdapat nilai fantastis dari tunjangan pimpinan dan anggota DPRD dibagi ke dalam berbagai pos tunjangan dengan nominal yang berbeda-beda sesuai jabatan.
Ketua DPRD menempati posisi penerima tunjangan terbesar. Setiap bulannya, Ketua DPRD mendapat uang representasi sebesar Rp2,1 juta, ditambah uang paket Rp210 ribu, dan tunjangan jabatan sebesar Rp3,04 juta. Selain itu, terdapat tunjangan alat kelengkapan senilai Rp228 ribu, serta tunjangan komunikasi intensif yang nilainya cukup besar, yakni Rp10,5 juta per bulan.
Di luar itu, Ketua DPRD juga berhak atas tunjangan reses Rp10,5 juta setiap masa sidang, tunjangan perumahan Rp52,94 juta, dan tunjangan transportasi Rp29,41 juta. Ada pula dana operasional sebesar Rp8,4 juta per bulan, ditambah belanja rumah tangga yang mencakup anggaran makan minum tamu Rp5 juta, makan minum harian Rp12 juta, dan konsumsi rapat Rp4,5 juta.
Wakil Ketua DPRD menerima jumlah yang sedikit lebih kecil dibanding Ketua. Uang representasi untuk Wakil Ketua ditetapkan sebesar Rp1,68 juta, dengan uang paket Rp168 ribu, dan tunjangan jabatan Rp2,43 juta. Untuk tunjangan alat kelengkapan, nilainya Rp152 ribu. Sama seperti Ketua, Wakil Ketua juga memperoleh tunjangan komunikasi intensif Rp10,5 juta serta tunjangan reses Rp10,5 juta.
Pada pos tunjangan perumahan, Wakil Ketua mendapat Rp48,23 juta per bulan, sedangkan tunjangan transportasinya Rp27,05 juta. Sebagai tambahan, Wakil Ketua juga memperoleh dana operasional Rp4,2 juta. Dengan komposisi tersebut, total tunjangan Wakil Ketua berada sedikit di bawah Ketua DPRD, namun tetap jauh lebih besar dibandingkan gaji rata-rata pejabat daerah lainnya.
Sementara itu, anggota DPRD menerima uang representasi Rp1,57 juta, uang paket Rp157 ribu, dan tunjangan jabatan Rp2,28 juta. Tunjangan alat kelengkapan bagi anggota senilai Rp91 ribu. Sama halnya dengan pimpinan, anggota DPRD juga mendapat tunjangan komunikasi intensif Rp10,5 juta dan tunjangan reses Rp10,5 juta.
Perbedaan paling mencolok terletak pada tunjangan perumahan dan transportasi. Anggota DPRD menerima Rp45,88 juta untuk perumahan dan Rp23,52 juta untuk transportasi per bulan. Meski tidak mendapat dana operasional maupun belanja rumah tangga seperti pimpinan, jumlah tersebut tetap membuat total tunjangan anggota DPRD menembus lebih dari Rp150 juta per bulan.
Selain tunjangan pokok di atas, seluruh pimpinan dan anggota DPRD juga mendapatkan fasilitas pakaian dinas dan atribut. Biayanya pun tidak sedikit: pakaian sipil harian sekitar Rp4,5 juta per stel, pakaian resmi Rp8,24 juta, pakaian lengkap Rp9,27 juta, hingga pakaian adat Rp3,09 juta. Ditambah lagi perlengkapan kecil seperti pin, peci, papan nama, ikat pinggang, topi lapangan, hingga selop yang semuanya dibiayai APBD.
Dari uraian tersebut, terlihat bahwa Ketua DPRD Kota Cirebon dapat menerima total sekitar Rp173 juta per bulan, Wakil Ketua sekitar Rp160 jutaan, dan anggota DPRD sekitar Rp150 jutaan, jika semua komponen dihitung. Angka ini bersumber penuh dari APBD Kota Cirebon yang pada tahun 2025 berjumlah Rp1,7 triliun.
Respons Wali Kota
Atas Perwal yang diakses publik melalui laman Jaringan Dokumentasi Informasi dan Hukum (JDIH), Mèrtika kemudian meminta klarifikasi langsung dari Wali Kota Cirebon, Effendi Edo, selaku pihak yang menandatangani regulasi tersebut.
Edo menjelaskan, penetapan besaran tunjangan DPRD tidak dilakukan secara sembarangan, melainkan telah melalui mekanisme penilaian appraisal yang melibatkan tim penilai independen. Menurutnya, setiap penentuan nominal tunjangan harus mengacu pada standar kemampuan keuangan daerah serta aturan turunan dari pemerintah pusat.
“Sudah ada appraisal, tapi nanti kita akan tinjau kembali akan dicabut atau bagaimana, kita juga akan diskusi dengan Kemendagri, semuanya dalam proses dan mekanismenya tidak bisa di perusahaan jadi agak lama,,” ujar Edo saat ditemui di Balai Kota.
Meski membuka ruang revisi, Edo menegaskan bahwa pencabutan Perwal tidak bisa dilakukan secara gegabah. Prosesnya membutuhkan koordinasi lintas lembaga, mulai dari pimpinan DPRD Kota Cirebon, DPRD Provinsi Jawa Barat, hingga Gubernur Jawa Barat. Bahkan, kata dia, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) juga harus dilibatkan untuk memastikan langkah yang diambil sesuai dengan regulasi yang berlaku.
Edo juga menekankan bahwa pemerintah daerah berkomitmen menjaga keterbukaan dalam pembahasan tunjangan DPRD. Ia meminta masyarakat bersabar dan memberi ruang bagi pemerintah untuk melakukan evaluasi yang matang.
Respons Aktivis dan Warga
Aktivis Cirebon, Sandy Markos, menyebut tunjangan rumah yang tercantum dalam Perwal tersebut tidak relevan. Menurutnya, pimpinan DPRD seharusnya menempati fasilitas rumah dinas yang sudah disediakan pemerintah.
“Persoalannya, Pemkot telah menyediakan rumah dinas untuk pimpinan DPRD. Ketua DPRD punya rumah dinas di Jalan KS Tubun, dan wakil ketua di Jalan Sudarsono. Jadi tunjangan rumah ini seharusnya dihapus, jangan sampai mengakali uang negara dengan tunjangan fantastis,” ujarnya pada Senin, 8 September 2025.
Ia menegaskan, tunjangan besar tersebut tidak sesuai dengan kondisi masyarakat Cirebon saat ini. “Ekonomi sedang tidak baik-baik saja, banyak masyarakat kesulitan. Tapi anggota dewan justru menikmati fasilitas ganda,” tambahnya.
Kritik senada juga datang dari warga Cirebon, Benediktus Yuda Thomas. Ia menilai besaran tunjangan tersebut tidak rasional dan tidak mempertimbangkan asas kepatutan. Terlebih, menurutnya, tunjangan itu diberikan secara otomatis tanpa dikaitkan dengan kinerja.
“Yang saya baca, tunjangan itu diberikan tanpa ada indikator kinerja. Mereka digaji dan mendapat tunjangan besar tanpa evaluasi. Tidak ada KPI, tidak ada transparansi, sementara aspirasi masyarakat banyak yang diabaikan,” katanya.
Yuda juga menyoroti rendahnya tingkat kehadiran anggota DPRD dalam rapat maupun paripurna. “Paling hanya beberapa anggota yang serius menampung aspirasi. Tapi yang lain? Bahkan banyak yang bolos rapat. Kalau kinerjanya seperti itu, buat apa tunjangan besar diberikan?” tegasnya.
Atas dasar itu, Yuda mendesak agar tunjangan perumahan dihapuskan. Menurutnya, jika pemerintah ingin menjaga kondusivitas, maka perlu ada langkah konkret berupa moratorium terhadap tunjangan transportasi maupun tunjangan ganda lainnya.
“Hapus tunjangan rumah, lalu kaji ulang tunjangan transportasi yang dobel. Kalau dana ini dialihkan ke pelayanan publik, masyarakat akan lebih merasakan manfaatnya,” ucapnya.
Ia juga mengkritik minimnya transparansi kinerja DPRD. Menurutnya, masyarakat tidak pernah benar-benar tahu apa yang dikerjakan para wakil rakyat, karena prosesnya tertutup dan nyaris tanpa pengawasan.
Gelombang ketidakpuasan warga terhadap DPRD Kota Cirebon tampak semakin menguat. Di berbagai platform media sosial, kritik terus berdatangan. Ada yang menyebut tunjangan itu sebagai bentuk “kemewahan politik,” ada pula yang membandingkannya dengan gaji guru honorer atau tenaga kesehatan yang jauh lebih kecil.
Kondisi ini membuat kepercayaan publik terhadap DPRD kian dipertanyakan. Apalagi, isu absen rapat, lemahnya penyerapan aspirasi, hingga minimnya transparansi, masih menjadi catatan buruk yang terus berulang dari periode ke periode.
Bagi sebagian warga, polemik tunjangan Rp173 juta per bulan ini menjadi cermin jurang yang semakin lebar antara kesejahteraan wakil rakyat dengan masyarakat yang mereka wakili.
Reporter: Laut
Penulis: Raihan Athaya Mustafa
Editor: Redaksi Mèrtika
0 Komentar