![]() |
| Episode Kopi Pamitran - Dipotret oleh Raihan |
Mèrtika, Cirebon - Di Jalan KS Tubun, di antara deru kendaraan, rindang pohon besar, dan gerobak pedagang yang berjejal, berdiri sebuah ruang kumpul yang menyimpan aman dan nyaman bagi perempuan. Rumah itu bernama Episode Kopi, atau yang lebih akrab disebut Rumah Eps.
Gagasan Rumah Eps merupakan perjalanan panjang lima orang yang berawal dari sebuah gerobak angkringan di Desa Bayalangu, Kecamatan Gegesik, Kabupaten Cirebon, pada 5 September 2019. Dua nama pertama ialah Illyas dan Hudi yang memulai tayangan kecil mereka, menyeduh dan menyajikan kopi.
Kemudian hadir tiga kawan baru, Burhan, Rafi, dan Gladi. Mereka yang kerap menumpah ruahkan dengan secangkir kopi dalam waktu intens . Pendakian gunung atau hamparan alam menjadi titik untuk menyegarkan tema obrolan bersama seputar kopi.
Tahun-tahun pertama adalah ujian. Mereka terus berupaya menyublim atas kepadatan tayangan. Tak hanya itu, mereka mesti mencair, mengalir dari Pasar Baru Arjawinangun, ke jalan Sutan Syahrir. Sebuah rumah yang kemudian mereka ubah menjadi kedai yang lebih santai. Ruang itu mengubah ritme mereka. lebih tenang, lebih akrab, lebih rumahan.
Pada tahun kedua, kejenuhan mulai tumbuh. Putus asa sempat mengetuk pintu; arah seakan menghilang. Untuk mengatasinya, memasuki tahun ketiga, mereka memilih kembali ke balik meja bar: melayani, menyeduh, dan memulai dari hal-hal kecil. Sebab sekecil apa pun harapan, mereka percaya harapan itu tetap ada.
Pada Kamis, 6 Januari 2022, mereka melakukan perjalanan yang mereka sebut “Bentang Timur Jawa”. Pendakian 10 gunung di Jawa Tengah dan Jawa Timur dilakukan sebagai cara mengurai jenuh. Mereka juga singgah ke kedai-kedai kopi di Tegal, Pekalongan, Semarang, Banyuwangi, Solo, hingga Jogja—mencari suasana, inspirasi, dan ingatan baru tentang apa itu rumah bagi sebuah perjumpaan.
Hingga pada Juni 2025, mereka membuka gerbang baru di Jalan KS Tubun, Kejaksan, Kota Cirebon. Dengan anggaran yang terbatas, mereka menata ruang menggunakan perabot seadanya dan barang-barang bekas.
“Ini kami pakai barang-barang bekas. Terus gambar gunung itu triplek, dibakar pakai torch,” ujar Burhan sambil tersenyum.
Namun justru dalam keterbatasan itulah atmosfer Rumah Eps tumbuh. Di jendela rumah, tulisan terbentang, “We welcome you to our Rumah Eps.” Tulisan itu bukan sekadar sambutan, melainkan pengingat bahwa perjalanan ini pernah dimulai dari gerobak kecil di desa, melewati kejenuhan, perpindahan, dan keraguan. Bahwa rumah ini tumbuh perlahan, bersama langkah-langkah kecil yang tidak pernah berhenti.
Mereka menutup catatan itu dengan sebuah harapan, “Terima kasih kepada siapa pun yang menjadi penyaksi atas pertambahan yang sudah sejauh ini. Doa bumi menyertai, semoga hal baik berumur panjang. Salam hangat dan jabat erat—anak manis Eps.” Rumah Eps kini berdiri sebagai ruang aman, ruang jeda, dan ruang cerita bagi siapa saja yang ingin singgah.
Ruang untuk Perempuan yang Meresahkan Aman dan Nyaman
![]() |
| Ruang Perempuan Eps - Dipotret oleh Raihan |
Lebih dari 300 gerai kopi berjejer dan terselip di tiap ruas dan lekuk jalan. Minuman dan kudapan yang tersaji di Rumah Eps tidak jauh berbeda dengan lainnya, namun sarana aman dan nyaman mereka punya perangkat pengetahuannya .
Di tengah hamparan sosial yang kerap keras terhadap perempuan, Rumah Eps menjadi poros kecil di mana batas dan kenyamanan dikembalikan kepada mereka yang selama ini terbiasa diam. Sebab di luar halaman dan gerbang klasik Rumah Eps, kenyataan tak selalu ramah terhadap perempuan. Catatan Tahunan Komnas Perempuan tahun 2024 menunjukkan lebih dari 35 ribu kasus kekerasan terhadap perempuan di seluruh Indonesia.
Bahkan, satu dari empat perempuan usia 15 hingga 64 tahun pernah mengalami kekerasan fisik maupun seksual sepanjang hidupnya. Dari angka itu, mayoritas pelaku justru berasal dari lingkar terdekat: pasangan, keluarga, bahkan lingkungan kerja.
Cerminannya terasa pula di Cirebon, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3APPKB) Kota Cirebon mencatat, 67 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak sepanjang 2024. Pada enam bulan pertama 2025, sudah 34 kasus kembali muncul di ruang publik, di jalan, atau di tempat-tempat yang seharusnya aman dari hasrat ranjang.
Di tengah lanskap seperti itu, kehadiran Rumah Eps terasa seperti jeda dari kenyataan yang menyesakkan. Burhan, salah satu penggagasnya, menuturkan dengan nada tegas, “Sederhana saja, seringkali perempuan nongkrong malah dicat-calling, atau sekadar dilirik karena pakaiannya,"
"Aku juga pernah lihat temanku, dia perempuan malu untuk nangis di tempat umum, takut dinilai, takut diperhatikan. Jadi ya, kami bikin ruang ini," sambungnya.
Kata ruang dalam kalimat Burhan tak hanya berarti tempat, tetapi juga kesempatan untuk ada, sebuah afirmasi atas eksistensi yang kerap diremehkan. Di Rumah Eps, perempuan bisa menyesap kopi tanpa waspada, berpakaian bebas tanpa stigma, dan menangis tanpa harus menahannya.
Sudut Pandang dari dan untuk Paham Perempuan
Ruang sederhana dengan cat dinding berwarna moka, tersemat quotes berbingkai, dan dilengkapi fasilitas toilet di dalam hadir bukan tanpa fungsi. Dari pengunjung banyak harap yang menyelinap pada ruang aman perempuan tersebut.
Salah satunya datang dari Ulya Mukarromah, seorang pegiat komunitas Paham Perempuan yang kerap menyuarakan ruang aman dan nyaman bagi perempuan. Ia menilai keberadaan Ruang Perempuan Episode sebagai langkah yang jarang dipikirkan kedai kopi lain.
"Menurut saya pribadi, ini salah satu bentuk ikhtiar paling sederhana yang enggak semua tempat terpikirkan," Tulisnya dalam pesan whatsapp. "Kebanyakan warung kopi atau kafe itu ruang transaksi. Entah transaksi politik, obrolan bisnis, atau sekadar nongkrong tanpa arah. Sedikit sekali yang mikir bagaimana perempuan bisa aman."
Ulya melihat kehadiran ruang ini sebagai gambaran penting bahwa perempuan butuh tempat healing, mengurai penat, atau sekadar mencari udara segar.
"Dan dari ruang itu sering muncul hal-hal lain. Pertemuan yang bukan cuma pertemuan. Bisa jadi ruang kolaborasi, gerakan kecil, atau sekadar saling menjaga. Itu penting,"
Ia menekankan perempuan masih sangat rentan mengalami pelecehan, baik verbal maupun nonverbal. Baginya, keamanan bukan sensasi sesaat, tapi situasi yang dibangun oleh lingkungan. Pasalnya masih cukup deras rayuan murahan dan stigma terhadap perempuan. Seperti pandangan terhadap perempuan yang merokok.
“Yang paling sering itu candaan seksis dan cat-calling. Jangan salah, perempuan berjilbab besar pun dapat cat-calling. Bukan soal pakaian. Apalagi Kalau perempuan berjilbab merokok? Wah, stigma negatifnya bejibun. Padahal, ya sudah, itu pilihannya.”
Di Paham Perempuan, ruang aman tidak pernah dimaknai sebagai ruangan pastel dengan poster inspiratif. Ruang aman, kata Ulya, adalah ruang tanpa penghakiman. Terakhir, Ulya menyampaikan harapan besar pada Episode Kopi.
“Saya apresiasi sekali sama teman-teman Episode. Mereka mikir, merancang, dan mewujudkan ruang yang perempuan butuhkan. Bukan untuk esklusifitas, tapi untuk keselamatan.” Ia menekankan bahwa perempuan saling mendukung itu penting, tetapi tidak cukup.
“Kami butuh dukungan laki-laki. Butuh kesadaran ruang publik bahwa perempuan punya hak merasa aman. Semoga ruang seperti ini makin banyak, bukan sekadar ruangan, tapi tempat untuk bebas mengekspresikan diri.”
Di Rumah Eps, perempuan boleh datang sendiri tanpa merasa diawasi. Boleh menangis tanpa takut dianggap “drama.” Boleh berbicara tanpa takut dipotong. Boleh menjadi manusia tanpa syarat. Dalam dunia yang masih sering menuntut perempuan menjaga diri, Episode Kopi perlahan menawarkan alternatif: tempat di mana perempuan tidak harus selalu waspada.
Penulis: Raihan Athaya Mustafa
Editor: Redaksi Mèrtika



0 Komentar