Damai Seremoni dan Hak Warga yang Terciderai

Tema HUT RI ke-80 Tingkat Kota Cirebon - Dipotret oleh Raihan


Mèrtika, Opini – Pasca demo, bisa dibilang tata ruang Kota Cirebon porak-poranda, begitu juga dengan tata pemerintahannya. Rusaknya sejumlah fasilitas umum hingga tempat dewan bernaung, hanya direspons dengan ajakan ke semua elemen untuk bergabung dalam deklarasi damai. Beberapa waktu lalu, Wali Kota mengundang organisasi dan instansi yang ada di kota, kemudian mendeklarasikan Cirebon Damai. 

Upaya yang jelas berkesan seremoni itu kiranya hanya menutupi ketakutan pemerintah terhadap rakyatnya sendiri. Pada beberapa kali kesempatan dewan memilih bungkam atas agenda kerjanya sendiri.  Dalihnya, untuk beberapa hari ke depan mereka ingin mendinginkan suasana. Khawatir jika mereka muncul ke media, akan seperti menyiramkan bensin kepada api massa dan membakar tempatnya bernaung.

Tentu itu akan menimbulkan pertanyaan publik. Apakah diam adalah pilihan bijak, atau bentuk pengingkaran tanggung jawab sosial-politik? Jika gedung rakyat hancur, dan suara rakyat bergemuruh, bukankah seharunya negara dengan skala kota sekalipun, hadir memberi kepastian?

Masalah ini mengembalikan kita pada abad ke-19 dan awal abad ke-20. Seorang sosiolog, Thomas Humphrey Marshall, memperkenalkan kewarganegaraan sosial sebagai sesuatu yang baru untuk layanan sosial dan sumber daya material. Baginya, negara semestinya menopang tiga dimensi hak warga. Diantaranya hak sipil, untuk mengantongi perlindungan hukum; hak politik untuk memastikan bersuara dan didengar; serta hak sosial untuk menikmati kesejahteraan dan keamanan.

Marshall membubuhkan teori guna merespons tatanan pemerintahan Inggris pasca perang. Ia merangkainya sebagai rangkaian evolusi. Dalam arti lain tiga dimensi hak warga akan merujuk dan menentukan secara berurut. Bahwa kewarganegaraan akan menepis ketimpangan sosial yang tak berkesudahan. Hal ini menjadi barang wajib untuk dijalankan.

Alih-alih berpikir bahwa manusia merupakan sejumlah ego yang dibentuk oleh negara, ia justru menekankan atas individualitas yang terhimpun di dalam masyarakat. Nama “masyarakat” mesti berlandaskan gagasan dan sistem keadilan yang sifatnya mutualitas (menguntungkan satu sama lain).


1. Hak Sipil: Renovasi Fisik Tak Menjawab Luka Transparansi

Kerusakan kota memang tengah ditangani. Pemerintah menginventarisasi kerugian, bergegas merenovasi, dan mencoba menormalkan situasi. Namun, hak sipil warga tidak hanya menuntut ruang publik yang tertata, melainkan juga kepastian melalui keterbukaan informasi. 

Di titik ini, pemerintah kota justru bungkam. Lebih-lebih pertanyaan publik tentang total kerugian, rencana kerja pasca-renovasi, hingga dasar hukum kebijakan lain seperti Perwal No. 5 Tahun 2025,  tertulis tunjangan dewan yang dinilai melambung tinggi dibiarkan menggantung tanpa jawaban.

Bungkamnya wali kota menandakan bahwa transparansi hanyalah jargon. Masyarakat tidak hanya berhadapan dengan gedung yang hancur, tetapi juga dengan institusi yang kehilangan keberanian untuk bicara.


2. Hak Politik: Saat Demonstrasi Direduksi Menjadi Tawuran

Demonstrasi adalah kanal sah hak politik warga. Namun, pemerintah kota memilih menuding kerusuhan sebagai ulah provokator atau sekadar insting tawuran pelajar STM. Cara pandang sempit ini menafikan makna demonstrasi sebagai perlawanan politik yang sah. 

Pertanyaannya, apakah instrumen pemerintah kota berjalan baik dalam membangun masyarakat? Bagaimana kualitas pendidikan para pelajar di kota ini? Apakah ada pendidikan politik yang benar-benar menjawab kebutuhan politik secara realitas?

Celakanya, di saat publik menuntut penjelasan, Pemkot justru menutup mulut. Wali kota seakan terperangkap dalam kebisuan politik, bukan hanya terhadap suara tanya publik, tetapi juga terhadap krisis internal yang menggerogoti legitimasinya. Terdapat dugaan pecah kongsi dengan wakil wali kota. 

Laporan Handoyo, suami dari wakil wali kota ke Polda Jabar atas piutang Rp20 miliar yang belum dilunasi oleh wali kota, bukan hanya gosip politik, melainkan gambaran betapa rapuhnya fondasi kepemimpinan kota. Di tengah kerusuhan, rakyat berhak mendapat jawaban, bukan menyaksikan teater perselisihan di lingkar kekuasaan.


3. Hak Sosial: Retorika Pedagang Kecil yang Memilih Korban

“Kasihan pedagang kecil,” demikian alasan pemerintah untuk tetap tiarap, menutup isu agar suasana mereda. 

Tetapi siapa yang dimaksud pedagang kecil? Retorika ini segera hancur ketika menengok pedagang kaki lima di sekitar Stadion Bima yang digusur lantaran keberadaan warung remang-remang. Bukankah mereka juga pedagang kecil?

Hak sosial warga menjadi timpang. Satu kelompok dijadikan alasan, kelompok lain dikorbankan. Dalam kerangka Marshall, hak sosial tidak boleh dipilah sesuai kepentingan politik. Ketika pemerintah lebih sibuk menyelamatkan citra dan menyembunyikan konflik internal, hak sosial berubah menjadi sekadar alat retorika, bukan jaminan yang nyata.

Ironi semakin jelas ketika publik menyorot Perwal No. 5 Tahun 2025 yang justru beredar tunjangan DPRD secara melambung. Saat ditanya, pihak pemerintah lagi-lagi ingin menjaga kondusifitas. Bukankah ini pertanda ketimpangan yang sanagat jelas?

Di satu sisi, pedagang kecil dibiarkan tergusur tanpa kompensasi layak; di sisi lain, elite kota menikmati keistimewaan dari kas daerah. Di sinilah hak sosial tercederai: bukannya merata untuk warga, justru terpusat pada segelintir pejabat. Marshall mengingatkan, hak sosial adalah jaminan kolektif, bukan privilese kelas penguasa.

Dalam kacamata T.H. Marshall, kewargaan tidak sekadar status, melainkan hak yang harus dijaga secara menyeluruh. Sipil, politik, dan sosial. Cirebon hari ini justru menunjukkan betapa tiga pilar itu keropos. Warga menuntut kepastian, pemerintah memberi diam. Warga mencari keadilan, elit malah sibuk menyelamatkan diri.

Jika pemerintah kota hanya menjawab krisis dengan retorika damai tanpa keberanian mengurai luka, maka “Cirebon Damai” tak lebih dari jargon kosong. Kota ini tidak butuh deklarasi yang manis, melainkan kepemimpinan yang jujur, transparan, dan berpihak pada masyarakatnya.



Penulis: Raihan Athaya Mustafa

Editor: Redaksi Mèrtika


Posting Komentar

0 Komentar