Mobilitas Warga Kota dari Balik Kaca Angkot dan Bus Trans Cirebon

BRT dan Angkot: Dipotret dan dikolase oleh Raihan

Mèrtika, Cirebon - Di simpang Harjamukti Kota Cirebon, dua wajah transportasi umum saling berdampingan. Sebuah angkot biru muda berhenti lama menunggu penumpang yang tak kunjung datang. Sementara, bus berwarna biru putih dihiasi decal Bus Rapid Transit (BRT) Trans Cirebon melintas perlahan, berpendingin udara, tersemat logo free wifi dan alat darurat pemecah kaca yang mencirikan angkutan modern.

Kota Cirebon yang kian ramai mencoba wargarnya agar tetap bergerak. Angkot sebagai moda rakyat yang hidup dari spontanitas, fleksibelitas, dan "ngetem", masih menjadi nadi pelayanan mobilitas warga. Di sisi lain, BRT adalah simbol kemajuan, proyek yang lahir dari pemerintah untuk menata ruang dan waktu warganya.

Namun, sebagaimana kota yang tumbuh tanpa rencana besar, keduanya kini berjalanan dalam jalur yang belum bertemu. Antara mobilitas masyarakat dan upaya menjawab pemasukan sopir transportasi konvensional.

Angkot: "Hidup Segan, Mati tak Mau"

Sejak akhir 1980-an, Angkutan kota menjadi tulang punggung mobilitas warga Cirebon. Ratusan hingga ribuan unit beroperasi dengan trayek yang menjangkau hampir seluruh Kecamatan. Tarif rata-rata sebesar Rp 4.000-6.000, tanpa sistem tiket, dan tanpa jadwal pasti.

Namun yang dulu dianggap kemudahan, kini menjadi kelemahan. Armada yang menua, biaya bahan bakar yang naik, dan penurunan 50% jumlah penumpang membuat sopir terjebak dalam lingkaran "hidup segan, mati tak mau".

Jamaludin, Ketua Organisasi Pengusaha Angkutan Darat (Organda) Cirebon mengungkap, pada tahun 2000, Organda menaungi 979 angkutan kota dan 2.000 Angkot Antar Kota Dalam Provinsi (AKDP). Hal ini meliputi berbagai kode angkot mulai dari D1 sampai D10, serta AKDP yang di antaranya GG, GM, GS, dan GP.

Kini armada hanya tersisa sekitar 1.500. Penurunan ini disinyalir dari maraknya ojek online yang menawarkan kemudahan dan percepatan. Kode D9 yang mengitari Kebon Pelok-Benda Kerep, sudah sangat jarang ditemukan di jalan-jalan Kota. Bahkan D10 sejak awal tahun 2024, sudah tidak beroperasi lagi.

"Ini kan emang persaingan antar moda. Baik pengusaha angkot, ojek online, dan sedikitnya BRT," ujar Jamal kepada Mèrtika.

Selain itu, Organda sebagai penentu tarif angkot semakin terhimpit untuk mencari keuntungan. Jika tarif dinaikan, jelas akan melanggengkan sepi penumpang. Namun jika tarif diturunkan, keuntungan jelas akan gagal diraup. Pasalnya, harga bahan bakar minyak dan suku cadang belakangan kian melambung.

Untuk itu, Jamaludin menegaskan, Organda terus bersiap apabila harga BBM naik. Karena itu satu-satunya dalih untuk menaikan tarif angkot di Kota Cirebon. Masyarakat tidak akan memahami jika alsannya persoalan suku cadang.

"Sekarang gini mas, spare part sudah mahal. Ban saja paling murah Rp500.000 ke atas mas. Kira-kira kalau rata-rata sopir perhari Rp200.000 disetor ke sini (Organda) Rp100.000 mereka habis di perawatan mobil," jelasnya.

Kemudian kajian lokal yang ditulis oleh Alvina Rizka dan Mira Lestira Hariani pada tahun 2023 menyebutkan, tingkat keterisian (load factor) angkot rata-rata sekitar 45%. Artinya, lebih dari separuh kursi penumpang angkot kosong sepanjang hari. Tentu ini membuat tarif tak lagi menutup biaya operasional.

Namun pemerintah kota tak bisa sekadar membiarkan angkot mati perlahan. Bagi banyak warga di pinggiran seperti Klayan, Kalijaga, dan Argasunya, angkutan umum tetap satu-satunya moda yang bisa diandalkan ketika bus tak menjangkau gang-gang sempit. Pasalnya di samping itu, mempertahankan angkot juga menjadi alat berahan hidup bagi ratusan keluarga sopir.

Trans Cirebon: Proyek Modern di Tengah Geliat Aktivitas Warga Pinggir Kota

Di sisi lain jalan, roda perubahan berputar lewat BRT Trans Cirebon. Ini seolah menjadi wajah baru transportasi publik yang menyiratkan ambisi kota menuju keteraturan dan efisiensi. Namun, seperti banyak proyek modern di Kota  berkembang, BRT hadir di ruang sosial yang belum sepenuhnya siap ditata.

Sudah lima tahun beroperasi, Trans Cirebon hanya memiliki tiga armada aktif yang melayani selatan Kota Cirebon. Setiap armada beroperasi dengan tiga shift yang diisi oleh satu sopir dan satu petugas layanan bus (PLB). Mereka bekerja dari pukul 06.00 pagi hingga 18.00 sore, dengan jeda istirahat 15 menit di Terminal Harjamukti setiap putaran per-shift, untuk memulai putaran berikutnya.

Bus berpendingin udara, bersih, dan dilengkapi free Wi-Fi itu menelusuri 45 titik pemberhentian, dari pusat kota hingga daerah-daerah pinggiran seperti Kopiluhur dan Argasunya. Untuk tarif umumnya sebesar Rp5.000, sedangkan untuk pelajar dan mahasiswa sebasar Rp3.500.

Dari sistem pembayarannya jelas lebih terjangkau ketimbang angkot dan BRT menyediakan transaksi digital. Perbedaan lainya terasa pada sistem naik-turunnya penumpang. Transportasi publik garapan Dishub dan Perusahaan Daerah (PD) Pembangunan ini, mengatur penumpang menyesuaikan dengan 45 titik pemberhentian bus untuk naik atau turunnya.

Salah satu Petugas Layanan Bus, Hamimah, membenarkan keteraturan itu. Profesionalitasnya sebagai PLB, membuat Ia harus bekerja dengan pelayanan yang prima kepada penumpang.

Perempuan yang akrab disapa Ima itu, telah 5 bulan bekerja sebagai PLB. Dari jangka waktu segitu, ia mengungkap bahwa penumpang belum bisa dikatakan ramai. Namun, ia mengatakan penumpang pasti selalu ada. Menariknya, yang mendominasi seisi bus kerap naik dari wilayah Selatan Kota Cirebon, yakni Argasunya.

"Tapi biasanya penumpang kebanyakan dari daerah sana (Kopiluhur, Argasunya). Kalau di sana khusus kak, bisa ga mesti di tempat pemberhentian bus," ujar Ima.

Peta BRT Trans Cirebon

Antara Harapan dan Realitas

Sepanjang tahun 2024, jumlah penumpang BRT Trans Cirebon tercatat mencapai sekitar 76 ribu orang. Angka ini menunjukkan tumbuhnya minat masyarakat terhadap moda transportasi publik yang lebih teratur dan terjangkau. Namun, sebagian besar pengguna masih terkonsentrasi di wilayah selatan, seperti Kopiluhur dan Argasunya, yang memang menjadi titik utama trayek bus.

Trans Cirebon hadir dengan tujuan menata kembali sistem mobilitas kota agar lebih efisien dan terintegrasi. Dengan tiga armada aktif yang beroperasi dari pukul 06.00 hingga 18.00, setiap hari BRT melayani 45 titik pemberhentian yang mencakup jalur dari pusat kota hingga pinggiran. Namun, dari sisi jangkauan dan kapasitas, layanan ini masih jauh dari ideal. Berdasarkan perhitungan, dengan rata-rata 210 penumpang per hari, beban operasional tiap armada tergolong tinggi.

Jika merujuk pada standar Direktorat Jenderal Perhubungan Darat dengan tingkat keterisian ideal 70%, maka dibutuhkan tujuh armada aktif untuk pelayanan yang efisien. Sedangkan menurut standar PT SP2J dengan keterisian ideal 50%, kebutuhan bus bahkan meningkat menjadi sepuluh unit. Penambahan jumlah armada menjadi langkah krusial agar waktu tunggu berkurang, pelayanan meningkat, dan jangkauan penumpang meluas ke wilayah utara dan barat kota.

Namun, di balik hitungan teknis, terdapat dampak sosial yang membedakan dua wajah transportasi ini. Di angkot, penghasilan sopir bergantung sepenuhnya pada jumlah penumpang yang naik setiap hari. Tak ada gaji tetap, tak ada jaminan sosial.

Sopir menanggung biaya bahan bakar, perawatan mobil, hingga setoran harian yang bisa mencapai Rp100 ribu. Jika hari sepi, mereka sering pulang dengan penghasilan yang tak menutup biaya hidup.

Sementara di BRT, para pengemudi dan petugas layanan bus bekerja dalam sistem yang lebih teratur. Mereka mendapat gaji tetap setara Upah Minimum Kota (UMK), dengan jam kerja dan waktu istirahat yang jelas.Tak perlu memikirkan setoran harian atau biaya perawatan armada, beban itu kini menjadi tanggung jawab pengelola. Hal ini membuat mereka bekerja lebih stabil, dengan tekanan yang lebih rendah, meski intensitas pelayanan tetap tinggi.

Perbedaan ini memperlihatkan perubahan paradigma dari transportasi berbasis penghidupan individu menuju layanan publik yang dikelola institusi. Bagi sopir angkot, setiap hari adalah perjuangan mencari penumpang dan mempertahankan kendaraan tua agar tetap hidup di jalan. Sementara bagi awak BRT, setiap hari adalah disiplin terhadap jadwal, shift, dan prosedur pelayanan.

Meski keduanya sama-sama menjadi bagian penting dari mobilitas warga, mereka beroperasi dalam dua dunia yang berbeda, yang satu digerakkan oleh kebutuhan ekonomi, yang lain oleh sistem.

Keduanya kini berjalan berdampingan tanpa benar-benar terhubung. Angkot masih menembus gang-gang sempit yang tak dijangkau bus, sementara BRT terus menapaki jalur yang berpendingin udara dan bersih, membawa citra modernitas di tengah kota tua.

Namun di antara keduanya, satu hal tetap sama. Setiap kendaraan yang bergerak di jalanan Cirebon membawa harapan. Harapan agar kota ini suatu hari nanti memiliki sistem transportasi yang tak hanya efisien dan tertib, tetapi juga adil secara sosial. Dengan begitu, memungkinkan ruang bagi para sopir lama untuk tetap hidup, tanpa menahan laju perubahan yang dibutuhkan masa depan.


Penulis: Raihan Athaya Mustafa
Edutor Redaksi Mèrtika

Posting Komentar

0 Komentar