Dari Cirebon ke Istiqlal, Isu Guru Swasta belum Final

Massa PGSI di depan Monas - dipotret oleh Raihan

Mèrtika, Cirebon - Pagi itu, Kamis 30 Oktober 2025, Masjid Istiqlal menyambut ribuan langkah dari berbagai penjuru negeri. Bus-bus besar berjejer di luar pagar, menurunkan penumpang yang menenteng tas, sajadah, dan keyakinan yang sama. Halte Lapangan Banteng tidak mampu menunjukkan hamparannya, demikian dengan fungsinya sebagai pemberhentian bus. 

Tempat yang semestinya menampung penumpang yang akan naik angkutan di Ibu Kota, kini beralih menjadi rehatnya manusia dan bus dari daerah. Satu per satu bus terparkir, bergantian pula penumpangnya mondar-mandir bersuci dan beribadah. 

Kumandang azan Subuh memecah udara Jakarta, menandai barisan yang terbentuk di dalam masjid. Ribuan guru swasta dari berbagai daerah bersujud di bawah satu doa, dengan mengenakan logo persatuan guru, di seragam batik, di atas saku kemeja, di peci, di ikat kepala, bahkan di dalam harap ketika mereka sujud dua rakaatnya. Mereka ialah guru-guru swasta yang belakangan dihematkan dari anggaran yang menggunung dengan dalih efisiensi. 

Cahaya mentari kian membumi. Begitu juga dengan para pedagang kudapan pagi dan pakaian yang terus merayu calon pembeli. Tentu tempat ini menjadi ladang rezeki, meskipun cuma sehari. 

Dari ratusan bertambah menjadi ribuan, pukul 06.00 pagi, luaran pagar Istiqlal berubah menjadi antrean. Warna kedaerahan makin kentara tatkala orang-orang yang diantar bus-bus besar ini hendak memesan makanan atau menawar pakaian. Logat sunda utara dan timur, hingga Jawa Cirebon, ngapak, dan tengahan mengudara di tengah padat suasana Istiqlal. 

07.30 pagi, sorak yel-yel dari berbagai macam daerah bersahut-sahutan. Jakarta, yang saat waktu wajib dua rakaat memeluk dengan sejuk, kini hangat dengan tekad. Jari telunjuk dan kepalan tangan tertuju ke atas, yang seolah merangkai harapan. 

Terdapat empat organisasi besar melemparkan tuntutan di Jalan Medan Merdeka Selatan. Diantaranya, Persatuan Guru Seluruh Indonesia (PGSI), Perwakilan Guru Madrasah Mandiri (PGMM), Persatuan Guru Inpassing Nasional (PGIN), serta Punggawa Guru Madrasah Nasional Indonesia (PGMNI). Sekitar 27 ribu guru dari empat organisasi itu mulai bergerak dan bersatu dalam tiga tuntutan besar. Antara lain adalah penerbitan SK PPPK tanpa diskriminasi, pelunasan tunggakan inpassing 2012–2014, dan penghentian diskriminasi terhadap guru sekolah dan madrasah swasta.

Di antara ribuan suara yang menuntut keadilan itu, terselip kisah-kisah kecil yang tak kalah penting. Satu di antaranya adalah kisah seorang guru dari Cirebon, yang datang bukan sekadar membawa poster dan yel-yel, melainkan cerita panjang tentang ketimpangan dan ketabahan yang mengakar hingga ke ruang-ruang kelas di pinggir kota. 


Perjuangan Guru Swasta dari Kandang Juang 

Di sela siang dan selesainya orasi,  tujuh orang perwakilan dari empat organisasi diterima oleh Sekretariat Negara, sementara ribuan lainnya menunggu dipinggir-pinggir jalan. Mereka bercerita satu sama lain tentang potret masing-masing ketika pawai dan aspirasi yang diagungkan, tidak terkecuali Ahmad Jufri, yang ikut bersama rombongan PGSI Kota Cirebon. 

Pria yang akrab disapa "kang Jufri' duduk tenang di bibir trotoar Stasiun Gambir. Ia berbincang pelan dengan Mèrtika, dengan tas selempang yang dipangkunya. Kesahajaannya menerawang lalu lintas kota, sambil merangkai kata dan menjawab tanya. 

"Kalau dibilang aktif, saya mah enggak. Tapi wayah (kalau) begini, saya mesti hadir. Sebenarnya PGSI itu kan wadah bersama guru-guru swasta," ujarnya dengan senyum. 

Baginya, kehadirannya di Jakarta bukan soal jabatan organisasi, melainkan soal nurani. Ia datang sebagai seorang guru yang melihat ketimpangan dengan mata kepala sendiri, dari gaji yang tak tidak masuk akal, hingga kebijakan pendidikan yang selalu membuat sebagian marginal. 

Sebagai Kepala Sekolah Sekolah Dasar Boarding School Al-Ansori, di bawah naungan Yayasan Kandang Juang, ia hidup langsung dalam dilema pendidikan swasta. Antara banyak idealisme, dengan sedikit jaminan. 

“Anggaran pendidikan itu selalu ada, hanya saja kebijakan pembagiannya tidak merata. Sekolah negeri dan guru PNS lebih dulu dapat perhatian, sedangkan sekolah swasta harus berjuang sendiri.” 

Menurutnya, kebijakan baru pemerintah, seperti program sekolah rakyat belum siap jika swasta masih kerap luput. Bahkan keberadaannya mempertegas perbedaan kemaslahatan tenaga pendidik itu sendiri. 

“Anggaran besar berputar di sekolah negeri. Sementara sekolah swasta, apalagi madrasah kecil, hanya berusaha sendiri,” tambahnya. 

Namun perjuangan tidak berhenti di situ. Melalui Yayasan Kandang Juang, yang didirikan oleh saudara iparnya, Kang Jufri memilih jalan panjang: mendidik anak-anak di sekitar Kelurahan Argasunya dan Kali jaga, dua kawasan yang lama dikenal sebagai kantong masyarakat marginal di Cirebon. 

Ia bercerita bagaimana awal berdirinya yayasan itu bukan dari bantuan pemerintah, melainkan dari keringat dan kerja kolektif. 

“Dulu, guru, pendiri, bahkan murid ikut cari rongsokan buat biaya operasional,” kenangnya sambil tersenyum getir. “Dari situlah muncul nama Kandang Juang, karena semuanya berjuang dari bawah.” 

Perlahan, perjuangan itu dilirik oleh para donatur. Kini yayasan itu tumbuh menjadi lembaga pendidikan lengkap, dari pondok pesantren, SD boarding, hingga SMP Life Skill Nur Ala-nur. Pada saat yang bersamaan juga Kang Jufri menolak anggapan bahwa sekolah swasta sepenuhnya urusan pribadi pemilik yayasannya. 

“Justru pemerintah harus hadir. Karena para pendiri sekolah swasta itu bukan pengusaha, tapi pelanjut cita-cita pendidikan nasional,” ujarnya mantap. 

Bagi Kang Jufri, perjuangan guru swasta hari ini bukan sekadar aksi turun ke jalan, tetapi refleksi atas sistem pendidikan yang lupa akan fondasinya: bahwa belajar dan mengajar bukan sekadar profesi, melainkan panggilan kemanusiaan. 

Suara Kang Jufri menandai wajah lain dari demonstrasi hari itu. Wajah yang lahir dari ruang kelas kecil, bukan dari ruang rapat besar. Namun di balik kesahajaannya, ada pula mereka yang mengemban tanggung jawab lebih besar: mengorganisir, menyuarakan, dan menghadapkan aspirasi itu langsung ke pemerintah. Salah satunya ialah Muhammad Ismail, Ketua PGSI Kota Cirebon, yang bersama enam perwakilan lain membawa suara ribuan guru menuju pintu Sekretariat Negara. 


Memotret Demo dari Balik Suara Ketua PGSI Kota Cirebon 

Siang itu, di antara lautan manusia berseragam dominan putih hitam, Muhammad Ismail berdiri tegap di bawah terik matahari Jakarta. Wajahnya teduh, namun matanya memantulkan keyakinan yang tak tergoyahkan. Ketua PGSI Kota Cirebon itu menjadi salah satu dari tujuh orang perwakilan guru yang akhirnya diundang masuk ke Kementerian Sekretariat Negara. 

Ia datang bukan membawa kemarahan, melainkan kepedihan yang telah lama tersimpan ribuan guru swasta. Di belakang Ismail, 50 guru asal Kota Cirebon berdiri memegang spanduk "Silat bar PGSI" dengan tiga tuntutan yang melengkapi bentangan spanduk. Mereka bergabung dengan kisaran 27 ribu guru lain dari penjuru Indonesia, membentuk arus manusia yang bergerak dari Masjid Istiqlal menuju Patung Kuda, menyelimuti jalanan Jakarta dengan suara serempak. 

Namun harapan untuk bertemu langsung dengan presiden Prabowo Subianti pupus di tengah jalan. Audiensi yang dijanjikan berakhir hanya dengan pertemuan bersama Wakil Menteri Sekretariat Negara dan Inspektur Jenderal Pendidikan Agama. 

"Yang paling miris justru guru madrasah swasta," ucap Ismail lirih setelah keluar dari ruang audiensi. "Karena memang guru madrasah dari dulu bergerak secara mandiri." 

Meski tanpa hasil konkret, semangat itu belum padam. Ismail menegaskan bahwa perjuangan ini bukan sekadar unjuk rasa sesaat, melainkan bentuk perlawanan moral terhadap sistem yang melantarkan pengajar di sektor swasta. Ia menyerukan kepada seluruh anggota PGSI di Kota Cirebon untuk tidak surut langkah. 

"Tapi saya berpesan kepada teman-teman PGSI Kota Cirebon, perjuangan ini tidak sia-sia," ujarnya tegas. "Nanti saya akan meneruskan hasil ke teman-teman ketika yang di atas (Pemerintah Republik Indonesia) sudah kasih jawaban," lanjutnya. 

Bagi Ismail dan rekan-rekannya, Jakarta hari itu bukan sekadar tempat berdemonstrasi. Ia menjelma ruang ujian kesabaran bagi mereka yang selama bertahun-tahun bertahan dengan gaji di bawah standar dan janji-jani yang tak pernah ditepati. 

Dari Kang Jufri hingga Ismail, dari trotoar Gambir hingga ruang Sekretariat Negara, semuanya bertemu dalam satu simpul yang sama: keyakinan bahwa guru swasta juga bagian dari tulang punggung negeri. Dan di hari itu, Jakarta menjadi saksi bahwa suara mereka bukan sekadar seruan di jalanan, melainkan doa yang ingin sampai ke telinga negara. 



Penulis: Raihan Athaya Mustafa

Editor: Redaksi Mèrtika


Posting Komentar

0 Komentar