![]() |
| Sumber Foto: Suara Cirebon |
Mèrtika, Cirebon - Pada akhir September 2025, publik Cirebon digemparkan oleh kekecewaan pemilik PT Batik Trusmi, Sally Giovanny, terhadap pihak KAI Stasiun Cirebon. Melalui kanal Instagram Radar Cirebon, Sally menyoroti pembatalan sepihak kontrak naming right yang seharusnya diluncurkan pada 1 Oktober 2025. Nilai kerja sama tersebut disebut mencapai Rp14 miliar untuk masa tiga tahun.
Pembatalan kerja sama KAI dan Batik Trusmi diduga dipicu oleh tekanan tokoh budaya dan anggota DPRD Kota Cirebon. Mereka menilai penambahan nama “Batik Trusmi” di Stasiun Kejaksan dapat menciderai nilai sejarah dan identitas Cirebon.
Menurut keterangan salah satu Tenaga Ahli DPRD, kerja sama ini sebenarnya dapat disetujui jika nama “Kejaksan” yang berasal dari tokoh sejarah Pangeran Kejaksan tetap disertakan. Namun karena forum menjadi tidak terkendali, pihak Batik Trusmi memilih walk out.
Selain itu, sejumlah sumber menyebut pembatalan juga terjadi karena kurangnya koordinasi “Sowan” dari pihak KAI dengan para pemangku kepentingan, sebuah hal yang krusial dalam budaya bisnis dan politik di Indonesia.
Termakan isu lampau
Istilah naming right merujuk pada bentuk kerja sama komersial di mana satu pihak memperoleh hak untuk menamai fasilitas, lokasi, program, atau acara tertentu dalam jangka waktu tertentu. Contoh yang familiar antara lain Stasiun Lebak Bulus Grab, Stasiun Cipete Raya Tuku, dan Stasiun Boulevard Utara Summarecon Mall. Di ranah olahraga, kita juga mengenal Shopee Liga 1 dan BRI Liga 1 sebagai contoh praktik naming right.
Ungkapan kekecewaan Sally Giovanny awalnya bertujuan untuk menarik simpati publik. Namun, opini masyarakat justru beralih mempertanyakan penggunaan nama “Batik Trusmi” itu sendiri. Banyak pihak menilai nama tersebut seharusnya bersifat umum sebagai citra geografis sentra batik di Cirebon, yang dimiliki oleh seluruh pengrajin dan pengusaha batik bukan dimiliki secara pribadi.
Data Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) menunjukkan bahwa “Batik Trusmi” telah terdaftar sebagai merek dagang atas nama Ibnu Riyanto, dengan kategori merek atau brand bukan sebagai indikasi geografis. Sehingga isu naming right malah membuka babak baru terkait perdebatan isu branding right yang pernah menyeruai sebelumnya.
Reaksi Pengrajin Batik & Perspektif Sejarah dan Budaya
Salah satu pengrajin di sentra Batik Trusmi menegaskan bahwa penggunaan nama Trusmi seharusnya bersifat kolektif. “Dulu, setiap pengrajin punya namanya sendiri dengan menggunakan nama pemiliknya lalu menambahkan kata ‘Trusmi’ agar orang tahu itu pusat batik. Tapi tidak pernah sebagai merek tunggal, contohnya Seperti Batik Kenza Trusmi, Batik Lia Cirebon, Batik Wening Trusmi, Batik Salma ataupun batik Trusmi Hafiyan”.
Ia juga menambahkan bahwa dahulu pun ada permasalahan HKI tentang motif batik ditahun 1990-an. Lalu istilah Alm.Bapak Katura memperkenalkan konsep BATRAMA yang berarti (Batik Tradisional Milik Bersama). Filosofi ini menegaskan bahwa batik Trusmi adalah hasil warisan leluhur sebagai identitas komunal, bukan milik satu pihak saja.
Di samping itu, sejarawan Cirebon, Mustakim Asteja, mengungkap bahwa istilah “BT” telah dikenal sejak 1935 sebagai singkatan dari Budi Tresna, koperasi yang mengayomi seluruh pengrajin batik di Trusmi. Hal ini mejawab problematika bahwa mengapa koperasi yang mengayomi seluruh pengrajin batik di trusmi saja tidak dinamai “Koperasi Batik Trusmi”.
Aktifitas pembatikan sejak masa lampau didaerah Trusmi ini Ia juga terlihat dari nama Pasar Pasalaran, Ia menjelaskan bahwa nama “Pasar Pasalaran” diambil dari kata dalam bahasa Tionghoa: “La” berarti pewarna, “Ra” berarti kain menandakan asal-usul tradisi batik yang dipengaruhi hubungan dagang dengan pengusaha Tionghoa dari Weru.
Pandangan DPRD Kota Cirebon
Anggota DPRD Kota Cirebon, Harry S. Gani, menyarankan agar hak kekayaan intelektual (HAKI) atas “Batik Trusmi” diserahkan kepada paguyuban pengrajin atau pemerintah daerah. Menurutnya, merek tersebut seharusnya terdaftar sebagai indikasi geografis, bukan kepemilikan individu.
Ia juga menegaskan bahwa meskipun wilayah Trusmi berada di Kabupaten Cirebon, persoalan ini menyangkut identitas budaya seluruh Cirebon, baik kota maupun kabupaten. “Cirebon tidak bisa dipisahkan secara administratif ketika berbicara soal identitas,” ujarnya.
Dalam masyarakat lampau, terdapat hukum yang tidak tertulis yang disebut norma. Para pengusaha batik yang menggunakan nama pribadinya masing masing sebagai merek usaha sampai dengan koperasi yang menjadi wadah untuk mengayomi industri batik didaerah Trusmi pun yang juga dinamai dengan penjenamaan lain yaitu (Budi Tresna) menandakan bahwa secara normatif, Penamaan Batik Trusmi itu hanya digunakan untuk Citra Wilayah saja.
Pendapat Mustakim Asteja bahkan lebih dalam lagi, beliau mengatakan bahwa “Nama Budi Tresna kemungkinan dipilih sebagai nasihat bahwa aktifitas ekonomi di sekitar Trusmi itu haruslah menggutamakan Budi (kebaikan) agar menciptakan tresna (kesenangan)”.
Fenomena ini megingatkan kita akan sebuah pepatah Jawa, “sing nandur bakal ngundhuh” artinya yang menabur akan menuai. Setiap langkah dan keputusan akan meninggalkan jejak sosial yang perlu direnungkan
Penulis: Alfa Julian
Editor: Redaksi Mèrtika

0 Komentar