Menyulam Motif, Menemukan Diri: Malam Bersama Aneu Herawati dan Motif Gerabah Sitiwinangun

Enam Peserta Selasar Keychain Embroidery dengan Aneu Herawati - Dipotret oleh Gerry Bayu samudra

Mèrtika, Cirebon — Di halaman yang hangat Episode Kopi Pamitran, sejumlah pengunjung dan percakapan ringan berpadu dengan suasana intim yang sengaja ditata untuk perempuan yang ingin belajar, berhenti sejenak, dan kembali mengenali dirinya. Tiga meja yang telah tertata memanjang terdapat pembidang kayu, gunting kecil berujung runcing, pernak-pernik warna-warni, benang sulam dengan gradasi lembut, serta potongan kain dengan sketsa pola dasar. Malam itu, Aneu Herawati memimpin sebuah workshop sulam bertema motif tumpal yang terinspirasi dari gerabah Sitiwinangun, warisan estetika khas Cirebon yang telah hidup turun-temurun.

Tujuh kursi disiapkan, tujuh slot terisi oleh perempuan dengan latar beragam. Ada seorang ibu yang ingin mencari kegiatan baru, pekerja kantoran, pegiat komunitas, hingga barista perempuan Episode Kopi yang baru pertama kali memegang jarum sulam. Di halaman itu, jarum dan benang menjadi bahasa bersama.

Aneu membuka sesi dengan memperkenalkan motif yang akan mereka pelajari. Motif tumpal, yang identik dengan bentuk-bentuk geometris dan ornamen alam, dipilih karena mudah diaplikasikan oleh pemula. Namun di tangan Aneu, motif itu tidak hanya jadi pola; ia adalah upaya memperbarui identitas visual gerabah Sitiwinangun dengan warna dan bentuk yang lebih variatif.

“Motif-motif ini awalnya terinspirasi dari tugas akhir mahasiswa, yang disuruh mencari dan mengumpulkan gerabah situwinangun” terang Aneu kepada para peserta. “Aku ingin memperbarui idenya, membuatnya lebih berwarna dan tetap punya ruh tradisi.”

Tiga teknik utama diperkenalkan oleh Aneu. Diantaranya long and short stitch, sattin stitch, dan back stitch. Teknik-teknik dasar ini sengaja dipilih karena cocok untuk peserta yang baru pertama kali menyentuh dunia sulam. Setelah penjelasan singkat, para peserta mulai menata posisi, menyematkan kain pada pembidang, dan memotong benang sesuai kebutuhan. Gerakan sederhana memasukkan benang ke jarum membuat beberapa peserta saling melempar tawa kecil. Rasa gugup khas pemula yang menandai awal dari sesuatu yang baru.

Ketika jarum mulai menembus kain dan benang ditarik perlahan, suasana berubah menjadi lebih khidmat. Ada yang mencoba mengikuti pola zig-zag, ada yang berhenti sebentar memastikan arah tusukan, ada pula yang memanggil Aneu untuk menanyakan langkah berikutnya. Meski begitu, tak ada tekanan. Dalam ritme yang pelan, mereka menyulam sambil berbincang tentang keseharian, pekerjaan, dan hal-hal kecil yang biasanya dilupakan ketika hidup berjalan terlalu cepat.

Teknik pertama, long and short stitch, menggunakan pembidang untuk menjaga kerapatan kain. Aneu menjelaskan bahwa teknik ini dipakai untuk membentuk gradasi warna seperti yang biasa ditemukan pada motif gerabah, bagian bulat atas atau elemen dekoratif lain yang perlu diisi penuh. Alat yang dibutuhkan sederhana. Pembidang, gunting, jarum, benang, dan sesekali manik-manik sebagai aksen.

Setelah peserta mulai nyaman, media diganti ke kain yang lebih kecil tanpa pembidang. Kali ini, teknik satin stitch dipraktikkan untuk membentuk permukaan halus, dan back stitch digunakan untuk membuat garis atau tulisan. 

“Satu teknik back stitch saja bisa mengisi dua jenis bentuk,” kata Aneu sambil menunjukkan contoh yang ia buat. “Teknik dasar itu bisa jadi seribu kemungkinan.”

Di halaman  beralaskan krikil itu, suasana pelan, hangat, dan terasa seperti ruang pulih. Tidak ada tuntutan untuk menjadi sempurna, yang dibawa hanyalah ketertarikan, keberanian mencoba, dan keinginan untuk hadir sepenuhnya pada sesuatu.

Ketenangan yang tampak malam itu kontras dengan cerita perjalanan Aneu yang ia bagikan dalam sesi wawancara. Dari suaranya kadang runtut, kadang bergetar. Seolah tersirat bahwa sulam bukan sekadar keterampilan, melainkan ruang penyelamatan personal.

“Aku tuh awalnya nggak percaya diri,” ungkapnya. “Apalagi setelah melahirkan. Banyak perempuan ngerasa kehilangan dirinya setelah punya anak.”

Aneu dan Souvarine Things

Tahun 2020 menjadi fase yang berat. Aneu bekerja di kota besar tanpa banyak teman, berpindah antara Jakarta dan Tangerang, menghabiskan waktu sendirian di kos. Kesepian membuatnya larut dalam film, terutama film berlatar era Victoria yang sering menampilkan perempuan-perempuan yang menyulam. Dari situlah keinginannya muncul. Ia mulai mencari video tutorial di YouTube, mencoba satu teknik demi teknik lain di kamar kos kecilnya.

Saat pertama kali mencobanya, ia merasa puas. Sebuah rasa yang lama hilang. “Aku senang, aku ngerasa punya sesuatu lagi. Aku dokumentasikan di Instagram souvarine.things. Awalnya cuma buat mengabadikan sulaman, nggak kepikiran buat dijual.”

Seperti benang yang perlahan ditarik, perjalanan Aneu dalam menyulam makin panjang. Ia menyulam totebag berhari-hari, lalu berpindah ke objek yang lebih kecil seperti gantungan kunci agar lebih cepat selesai. Tahun 2022 setelah menikah, ia menemukan dukungan besar dari suaminya yang ia sebut sebagai sosok “berani dan gak ragu untuk mulai.” Teman-teman suaminya, kata Aneu, ikut membukakan perspektif baru tentang kreativitas.

Tahun 2024 menjadi titik balik. Anak yang semakin mandiri membuatnya bisa kembali fokus berkarya. Ia menyulam kata-kata motivasi seperti “One Step Begins” atau “Leila S. Chudori,” lalu berkembang ke pakaian, Keychain (gantungan kunci), manik-manik, dan berbagai kreasi lain yang menggabungkan sulam dengan aksesoris.

“Dengan menyulam, aku menemukan diri aku lagi,” katanya. “Bukan sebagai anak, bukan sebagai istri, tapi sebagai perempuan. Ruang kreatif ini tumbuhkan aku dari rasa nggak percaya diri jadi percaya diri.”

Di akhir workshop, setelah benang-benang warna telah membentuk pola dan peserta saling berfoto dengan karya mereka, Aneu mengajak perempuan di halaman itu untuk mengapresiasi proses kreatif dan menjadi perempuan.

Pesan Aneu Herawati tentang #16HAKTP

Sesi Wawancara Aneu Herawati - Dipotret oleh Watsiq

Ia menyampaikan pesan yang ia tujukan kepada perempuan yang pernah mengalami kekerasan, baik verbal maupun fisik. Baginya, mencintai diri sendiri bukan slogan kosong. Melainkan kekuatan yang membuat perempuan tahu batasan, tahu harga dirinya, tahu bahwa ia layak dicintai. 

“Kamu berhak melawan ketidakadilan. Kamu berhak bersuara atas hal-hal yang tidak nyaman buat kamu. Energi perempuan yang percaya diri itu kerasa banget oleh lingkungan,” kata Aneu. “Mungkin Allah menciptakan kita dengan satu alasan,” sambungnya dengan suara lembut.

Malam itu, workshop Keychain Embroidery bukan hanya soal belajar teknik long and short atau back stitch. Ia menjadi ruang di mana perempuan berani memperlambat langkah, berkontemplasi melalui gerakan kecil jarum dan benang, dan tanpa disadari, pelan-pelan merajut kepercayaan diri mereka kembali.

Seperti pola tumpal yang terbentuk dari tusukan-tusukan kecil, perjalanan perempuan pun sering dibangun dari hal-hal sederhana. Keberanian memulai, ketekunan pada hal yang dicintai, dan ruang aman untuk bertumbuh. Malam itu, Aneu Herawati memberikan ketiganya.


Penulis: Raihan Athaya Mustafa

Editor: Redaksi Mèrtika


Posting Komentar

0 Komentar