Ratap di Tanah Kopi Luhur

Di tanah yang dulu harum dengan embun dan doa,
kini menguap bau luka.
Sampah menggulung seperti dosa yang tak disesali,
menyergap langit, menelanjangi cahaya pagi.

Argasunya menangis.
Bukan air mata, tapi cairan busuk yang mengalir dari perut bumi.
Anak-anak di tepi tumpukan itu bermain dengan debu maut,
mengejar kupu-kupu yang telah kehilangan warna.

Angin tak lagi membawa kabar hujan,
Ia membawa jerit:
dari daun-daun yang terbakar pelan,
dari tanah yang menghitam,
dari sumur yang kini memuntahkan pahit.

Oh, Kopi Luhur…
betapa ironi namamu.
Tak ada lagi aroma biji panggang di sini,
yang ada hanya getir penderitaan yang mengental di udara.

Burung-burung menolak singgah,
matahari enggan menatap tanah ini,
dan malam, 
malam datang bukan untuk istirahat,
tapi untuk menutupi duka yang tak sempat disembunyikan siang.

Jika bumi bisa berdoa,
ia akan memohon dilenyapkan,
daripada terus hidup dalam sesak,
dalam tikaman tumpukan yang terus menua,
dalam rintih panjang yang bahkan langit pun enggan mendengar.


Penulis: Fitria Pratnasari
Editor: Redaksi Mertika

Posting Komentar

0 Komentar