Rintih Tebing Argasunya

Tebing-tebing itu dulu bernyanyi,
dengan suara angin dan desir sungai di bawahnya,
kini mereka merintih dalam bisu yang panjang,
karena daging bumi dikuliti oleh cangkul manusia.

Setiap sekop pasir yang terangkat,
seolah sejumput nyawa ikut terangkat pula.
Ada ayah, ada anak, ada harapan yang rebah,
terkubur diam di bawah longsor demi sesuap nasi.

Langit pun murung.
Ia menatap dari jauh, 
tak sanggup menutup luka yang terus menganga,
saat bumi memohon, “Berhentilah… aku sudah lelah.”

Namun besok, suara mesin kembali meraung,
tangan-tangan lapar kembali menggali nasib,
dan di antara debu yang beterbangan itu,
roh-roh korban masih duduk di tepi tebing, 
menunggu keadilan yang tak kunjung datang.
 


Penulis: Fitria Pratnasari
Editor: Redaksi Mertika

Posting Komentar

0 Komentar