![]() |
| Diella |
Mèrtika, Opini - Kita semua tahu, kepercayaan pada politik sudah lama runtuh. Janji-janji pemimpin yang menjadi pengemis suara rakyat saat kampanye terdengar indah, tapi begitu waktu berjalan, rakyat kembali disuguhi drama yang sama: korupsi, kolusi, nepotisme, kepentingan pribadi, dan permainan kekuasaan. Wajar kalau banyak orang merasa lelah, bahkan putus asa. Kita haus akan perubahan, kita lapar akan kebenaran.
Pada 11 September 2025, dunia tiba pada sejarah baru.
Albania, negara kecil di Balkan dengan populasi tak sampai tiga juta jiwa, mengumumkan sesuatu yang belum pernah dilakukan bangsa manapun. Pemerintah mengangkat Artificial Intelligence sebagai seorang “menteri” untuk memerangi korupsi.
Perdana Menteri Albania Edi Rama memperkenalkan sosok baru di kabinetnya. Namanya Diella. Ia menteri yang tak pernah makan dan tidur, dan dijamin juga tak pernah masuk angin. Diella tampil sebagai avatar perempuan muda berpakaian tradisional Albania. Ia berbicara melalui layar komputer atau telepon genggam, Diella adalah “menteri virtual pertama di dunia.” Ia memang bukan manusia, melainkan robot kecerdasan buatan, semacam agentic AI, yang kini diberi tugas mengawasi pengadaan barang dan jasa pemerintah. Kita tahu di dunia birokrasi, sektor ini rawan dengan kecurangan.
Eksperimen Albania ini segera menarik perhatian global. Negara kecil di Balkan yang sedang berupaya meraih keanggotaan Uni Eropa itu memilih cara provokatif: menyerahkan keputusan tender publik pada algoritma. Seperti ditulis Politico edisi 11 September 2025 lalu, robot ini diharapkan menghapus praktik sogokan, menutup peluang kolusi, dan membuat proses lebih transparan. Diella, kata Rama, akan menjadi simbol pemerintahan yang “100 persen transparan, 100 persen incorruptible.”
Bagi rakyat Albania yang sudah lelah dengan suap, nepotisme, dan “kopi hitam pejabat” sebagai kode uang pelicin, kehadiran Diella bukan sekadar proyek digital. Ia tampil seperti menteri simbolis: tak bisa disuap, tak terikat geng politik atau jaringan oligarki dan sanggup membaca ribuan kontrak tanpa rasa letih.
Untuk memahami mengapa langkah ini lahir, kita harus menelusuri luka sejarah Albania. Negara dengan populasi kecil ini bergulat dengan reputasi buruk: birokrasi rapuh, nepotisme, dan praktik uang pelicin bahkan untuk izin sederhana.
Cerita rakyat modern berbisik tentang “kopi hitam pejabat.” Jika seseorang ingin urusannya lancar, kopi hitam itu bukan sekadar minuman, melainkan kode untuk uang sogokan.
Indeks Persepsi Korupsi (CPI) Transparency International mencatat Albania kerap tertinggal dari tetangganya. Tak heran, banyak anak muda Albania yang merantau ke Eropa Barat berkata pahit: “Di kampungku, mimpi bisa dibeli dengan amplop.”
Di tengah keletihan itu, Edi Rama memilih jalan mengejutkan: menyerahkan sebagian mandat negara kepada algoritma.
Tapi ada paradoks dalam janji itu. Diella bergerak dengan algoritma. Sekilas ia tampak netral, tapi sesungguhnya algoritma dibentuk oleh keputusan manusia: siapa yang menulis kode, siapa yang menentukan kriteria, siapa yang memilih data. Kita boleh curiga, misalnya bisa saja rancangan itu mengandung bias atau disusupi kepentingan. Albania boleh saja mengganti wajah manusia dengan avatar digital, tetapi “kepentingan” tetap dapat bekerja di balik layar.
Digitalisasi di sektor layanan publik memang bukan hal baru. Perbandingan dengan negara lain mungkin menarik. Estonia, misalnya, negeri itu telah lama memakai algoritma untuk menuntaskan sengketa kecil di pengadilan. Singapura memanfaatkan AI untuk mengatur lalu lintas kota dan keamanan publik. Bedanya, kedua negara itu memperlakukan AI sebagai alat yang bekerja di belakang panggung. Tapi di Albania, Perdana Menteri memberinya wajah dan nama, dan menjadikannya figur. Dengan begitu, teknologi sekaligus tampil sebagai aktor politik.
Menteri Robot Albania dan Cermin untuk Indonesia
Diella bukan sekadar perangkat lunak. Ia tampil dengan simbol budaya: nama yang berarti “matahari” dan pakaian tradisional Albania. Tugasnya jelas: mengawasi tender publik dan mengelola kontrak pemerintah. Perdana Menteri Edi Rama menyebut langkah ini sebagai revolusi menuju tender publik 100% bebas korupsi. Sejak Januari, Diella sudah menerbitkan lebih dari 36.000 dokumen digital dan menyediakan hampir 1.000 layanan publik. AI tidak bisa disuap, diancam, atau dirayu kepentingan tertentu.
Kontras dengan Indonesia. APBN kita mencapai Rp3.300 triliun; lebih dari sepertiganya untuk belanja pemerintah lahan basah korupsi. Ingat skandal bansos COVID? Uang rakyat yang mestinya menyelamatkan justru dijadikan bancakan. Birokrasi berbelit, investor kabur karena izin sengaja diperlambat. Di atas kertas kita maju, tetapi di lapangan masih “nyinyir” soal inovasi. Menteri robot dianggap ide konyol.
Padahal jika AI dipasang di titik-titik krusial, manfaatnya terasa. Transparansi dan anti-korupsi: data bisa silang otomatis antara Dukcapil, BPJS, dan instansi lain. Tidak ada lagi permainan data penerima bansos.
Kecepatan keputusan: AI mampu mengolah ribuan data real-time, tanpa harus “tunggu disposisi” dulu. Efisiensi anggaran: tak perlu rumah dinas, mobil dinas, tunjangan seumur hidup, atau rapat mewah. Cukup server, pengawas, dan prosedur. AI bekerja 24 jam tanpa cuti, tanpa gaji jumbo, dan ini yang paling penting tanpa nafsu korupsi.
Tetapi risiko juga ada. Jika datanya kotor, AI bisa menjadi tameng korupsi digital. Jika servernya lemah, bisa diretas. Jika terjadi kesalahan besar, siapa yang bertanggung jawab: presiden, DPR, atau developer AI? Karena itu, menteri robot tetap butuh ombudsman digital pengawas independen manusia yang tidak bisa bermain proyek.
Masalahnya mungkin bukan teknologi, melainkan mentalitas. Undang-undang kita memang menyebut menteri harus manusia. Namun, di era digital, pertanyaannya jadi lebih tajam: kita mau dipimpin menteri yang rakus dan sibuk bagi-bagu jatah proyek, atau AI yang jujur, transparan, dan lebih murah?
Kehadiran Diella di Albania adalah sinyal bahwa masa depan pemerintahan bisa berubah. Negara yang dulunya sarang korupsi justru lebih berani melangkah. Indonesia, dengan populasi besar dan anggaran ribuan triliun, seharusnya tidak kalah dari negeri gangster Eropa itu.
Atau jangan-jangan di Indonesia, robotnya pun ikut “dikondisikan”? Merenungkan Albania, saya teringat pada dua buku.
Max Tegmark, dalam Life 3.0, menulis bahwa AI bisa menjadi entitas baru di bumi: makhluk cerdas non-biologis yang mampu mengolah informasi melampaui manusia. Pertanyaannya: bisakah AI mengambil keputusan yang lebih bijak?
Cathy O’Neil, dalam Weapons of Math Destruction, memperingatkan bahwa algoritma, jika tak diawasi, justru dapat memperkuat bias dan ketidakadilan. Refleksi ini diperkaya oleh kasus Estonia yang sejak awal 2000-an membangun e-governance. Namun, bahkan di negara maju, algoritma tak pernah dilepaskan tanpa kendali manusia.
AI menjanjikan keadilan. Ia tak memiliki saudara, tak terikat jaringan lama, tak mengenal amplop cokelat. Namun kebijaksanaan tidak hanya lahir dari logika. Ia juga tumbuh dari empati. Algoritma bisa menghitung, tetapi bisakah ia merasakan derita seorang ibu yang kehilangan anaknya karena kebijakan tak adil?
Bisakah ia menimbang nilai air mata di tengah banjir bandang?
AI mungkin bisa mengambil keputusan yang lebih efisien. Tetapi apakah ia bisa mengambil keputusan yang lebih bijak?
Diella, sistem AI Albania adalah algoritma yang hidup di pusat data. Ia dibekali kemampuan melacak pola curang, membaca ribuan kontrak, dan menolak intervensi emosional.
Setiap keputusan di-backup oleh tim auditor independen terdiri dari pakar etika, aktivis anti-korupsi, dan akademisi.
Diella dirancang dengan model hybrid: machine learning dilatih pada 20 tahun data korupsi Albania.
Ia mengidentifikasi pola tender mencurigakan, sementara blockchain mencatat setiap keputusan secara tak bisa diubah (immutable).
Sistem ini terintegrasi dengan sensor loT di kantor pemerintah, memantau transaksi real-time.
Seperti Al Singapura yang mengurangi 40% kasus korupsi tahun 2023, Diella diprogram untuk belajar dari kegagalan manusia-bukan
menggantikannya, tetapi memperbaiki celah di mana nafsu kuasa bersarang.
Sistem ini mencatat log dengan blockchain agar publik bisa mengawasi, mencegah algoritma menjadi “kotak hitam” baru.
Namun kritik pun datang. Konstitusi Albania mengharuskan seorang menteri adalah manusia berusia di atas 18 tahun.
Oposisi menilai penunjukan ini hanya simbolis. Pertanyaan pun menggema: siapa yang mengawasi AI itu sendiri?
Ada paradoks yang indah. Albania mengangkat AI justru karena manusia gagal menjaga amanahnya.
Seperti cermin, AI menghadapkan kita pada pertanyaan mendasar: apakah pada akhirnya kita menyerahkan moralitas kepada mesin?
Victor Hugo menulis: “Kepercayaan pada masa depan adalah rahasia kekuatan bangsa.” Albania seakan menjawabnya: masa depan itu kini dijaga algoritma, bukan lagi janji politisi.
Mungkinkah suatu hari AI duduk sebagai presiden? secara teknis, mungkin. AI mampu mengolah jutaan data sosial-ekonomi, mendengar aspirasi rakyat 24 jam, dan bekerja tanpa lelah.
Namun presiden bukan hanya pengambil keputusan rasional. Ia simbol emosi kolektif, pemersatu bangsa, sekaligus penjaga nilai.
Ketika rakyat berduka, presiden yang baik hadir bukan dengan data, melainkan dengan pelukan. AI bisa menjadi presiden yang efektif, tapi belum tentu manusiawi. Dan justru kemanusiaan dengan segala kelemahan dan kebesaran hati yang membuat kepemimpinan itu bermakna.
Bayangkan alun-alun Tirana pada malam peluncuran e-Albania. Layar besar menampilkan wajah digital, ribuan orang menatap dengan campuran kagum dan ragu.
Seorang ibu tua berbisik pada cucunya: “Dulu pejabat selalu datang minta suap. Sekarang yang datang hanyalah cahaya.” Apakah itu pertanda kebebasan baru, atau penjara digital yang halus? Hanya waktu yang menjawab. Namun satu hal pasti: Albania tercatat sebagai negeri pertama yang mencoba menjahit luka korupsi dengan benang algoritma.
Jika hari ini Diella menjadi menteri, besok mungkin ia duduk di kursi presiden. Dan siapa yang tahu? Kelak mesin bisa menjadi hakim agung, filsuf bangsa, bahkan penulis kitab suci baru zaman modern.
Namun pengalaman global menunjukkan, AI dalam birokrasi hanya efektif bila disertai mekanisme audit manusia, keterbukaan kode algoritma, dan partisipasi publik.
Tanpa itu, lahir rezim teknokrasi baru: transparan di permukaan, gelap di ruang server. Pertanyaannya bukan lagi apakah mesin bisa memimpin. Pertanyaannya: apakah kita, manusia, siap dipimpin oleh sesuatu yang tak punya air mata?
Diella berdiri di panggung depan, dan ia menjadi mesin birokrasi yang bergerak menentukan nasib banyak orang. Ini juga bukan perkara baru. Kita ingat refleksi sosiolog besar Max Weber seabad lampau, ketika masyarakat industri mulai terbentuk, dan pasar membutuhkan birokrasi yang efisien, dan keputusan yang rasional. Dalam Economy and Society (1922), Weber mengatakan birokrasi, baginya, adalah mesin jam modern—dibangun untuk menyingkirkan emosi dan kepentingan pribadi. Weber juga menekankan bahwa birokrasi bekerja “according to calculable rules and ‘without regard for persons’.” Di Albania melalui Diella, mesin birokrasi plus teknologi akan bekerja dengan wajah lebih dingin: tanpa rasa takut, tanpa intervensi politik, tanpa korupsi.
Tetapi Weber juga memperingatkan bahaya “sangkar besi” rasionalisasi: dunia yang terlalu kaku, kehilangan fleksibilitas, bahkan kehilangan kemanusiaan. Kita bayangkan Diella nantinya akan bisa bekerja untuk mengurus semua hal. Bukan hanya soal tender di pemerintahan, tapi juga keputusan soal pangan atau juga hiburan bagi masyarakat. Atau di pengadilan misalnya, jika semua perkara diputus algoritma tanpa ruang banding, akankah rakyat merasa lebih adil, atau justru lebih terasing?
Kehadiran Diella membawa satu pertanyaan dari kegelisahan global: sejauh mana kita bersedia mempercayakan masa depan pada mesin kecerdasan buatan? Jika berhasil, Albania bisa menjadi pionir birokrasi berbasis AI yang lebih dipercaya ketimbang pejabat manusia. Jika gagal, ia akan menjadi tanda bahaya bahwa politik tak bisa sepenuhnya diserahkan pada teknologi.
Penulis: Kusmana Hadi Saputra
Editor: Redaksi Mèrtika
Referensi
Albania appoints AI bot ‘minister’ to fight corruption in world first | Corruption News | Al Jazeera
Tegmark, Max. Life 3.0: Being Human in the Age of Artificial Intelligence. New York: Alfred A. Knopf, 2017.
O’Neil, Cathy. Weapons of Math Destruction: How Big Data Increases Inequality and Threatens Democracy. New York: Crown,

0 Komentar