|  | 
| Proses Control Landfill TPA Kopi Luhur - Dipotret oleh Raihan | 
Mèrtika, Cirebon - Permasalahan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Kopi Luhur seakan tidak pernah selesai, sebelum ada pengelolaan yang jelas. Karena selama ini, kehadiran pemerintah dalam pengelolaan TPA Kopi Luhur berhenti di persoalan anggaran.
Padahal, sejumlah upaya dari warga setempat telah dijalankan untuk pengelolaan yang berkepanjangan. Bukan hanya penyelesaian jangka pendek, seperti mengirimkan air bersih untuk warga yang terkena dampak pencemaran TPA, membuat air sumur bor, atau hanya mengubah metode open dumping yang dilarang ke metode control landfill.
Persoalan upaya warga tersebut, telah dirangkum oleh seorang wartawan sekaligus pribumi Argasunya, Fahmi Labibinajib, melalui lini masa pemberitaan soal TPA Kopi Luhur. Berikut Mèrtika melansir tulisannya yang dipublikasi di akun facebook pribadinya.
Lini Masa Kepedulian Lingkungan TPA Kopi Luhur
Gerakan kepedulian atas buruknya pengelolaan TPA Kopi Luhur bermula pada 10 Juli 2025, ketika mahasiswa dan warga menggelar kajian isu lingkungan di Sekretariat Fordisma. Dari sinilah lahir Aliansi Gugatan Rakyat Cirebon (GRC).
Pada 11-14 Juli 2025, mereka turun langsung ke lapangan untuk memeriksa kondisi TPA, mengambil sampel air sumur dab air kolam lindi yang tercemar. Hasil kajian lanjutan pada 15-16 Juli menegaskan adanya dampak buruk TPA bagi warga.
Tanggal 17 Juli 2025, aksi demonstrasi pertama digelar. Mereka menyerahkan sampel air tercemar ke Dinas Lingkungan Hidup (DLH) disertai tuntutan agar Pemkot serius mengelola TPA. Namun, audiensi yang digelar esok harinya menemui jalan buntu karena alasan anggaran.
Rangkaian aksi berlanjut sepanjang Juli-Agustus. Pengiriman surat kepada Wali Kota dan DPRD, pengecekan ulang sumur warga bersama media nasional, hingga demonstrasi kedua pada 11 Agustus 2025 yang diwarnai teatrikal penyiraman air lindi di Balai Kota. Lagi-lagi, aksi berakhir tanpa jawaban dari Pemkot.
Puncaknya, pada 15 September 2025 Lembaga Bathsul Massail (LBM), Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama PCNU) Kota Cirebon mengeluarkan fatwa haram terhadap pengelolaan TPA Kopi Luhur, menegaskan bahwa dampak mudharat dari TPA bukan hanya masalah lingkungan, melainkan juga masalah moral dan kemanusiaan.
Hingga Keluarnya Fatwa Haram, Pemkot Masih Berkutat di Anggaran
Pemerintah Kota Cirebon hingga kini belum bisa memberikan tanggapan resmi terkait fatwa haram yang dikeluarkan LBM PCNU tentang TPA Kopi Luhur. Wali Kota Cirebon, Effendi Edo, menegaskan persoalan tersebut masih dalam proses penyelesaian, terutama terkait penanganan teknis dan dukungan anggaran.
Menurut Edo, pemerintah kota sudah menyampaikan persoalan TPA kepada Gubernur Jawa Barat. Namun, keterbatasan anggaran masih menjadi penghambat utama dalam mencari solusi. Ia berharap pemerintah pusat maupun pemerintah provinsi dapat turun tangan membantu menuntaskan persoalan sampah yang kian kompleks di Kota Cirebon.
“Nanti, kita belum bahas itu ya,"TPA kan sedang dalam proses yakan. Soal TPA sudah disampaikan ke Gubernur Jawa Barat. Tetapi, memang sampai saat ini masalahnya terbentur pada anggaran,” ujar Effendi Edo.
Lebih jauh, Edo menyebut Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, berkomitmen menyelesaikan persoalan TPA tidak hanya di Cirebon, melainkan di seluruh kabupaten dan kota di Jawa Barat. Namun, kepastian realisasi program dan dukungan konkret dari pemerintah provinsi maupun pusat masih ditunggu.
"Ya semua, pak Gubernur berkomitmen untuk semua. Semua Kabupaten dan Kota yang ada di Jawa Barat akan bersinergi dengan Gubernur," lanjut Edo.
Masalah TPA Kopi Luhur bukan hanya soal teknis pengelolaan sampah, tetapi menyangkut hak dasar warga atas lingkungan yang sehat. Fatwa haram semakin menegaskan bahwa persoalan ini bukan sekadar urusan administratif atau anggaran, melainkan krisis moral dan kemanusiaan.
Sementara pemerintah masih berkelit dengan alasan dana, masyarakat Argasunya terus hidup dengan air sumur yang tercemar dan udara yang tidak layak hirup. Pertanyaan yang menggantung: sampai kapan Pemkot membiarkan warga menanggung beban dari gunungan sampah yang tak kunjung terkelola?
Penulis: Raihan Athaya Mustafa
Editor: Redaksi Mèrtika

 
 
 
 
0 Komentar