![]() |
| Dinas Kesehatan Kota Cirebon - Dipotret oleh Raihan |
Mèrtika, Cirebon - Kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kota Cirebon meningkat drastis, tercatat naik 96 persen dibandingkan tahun 2024. Angka ini menegaskan Kota Cirebon berada dalam status waspada serius terhadap ancaman wabah DBD.
Hingga pekan ketiga Agustus 2025, kasus DBD tercatat sebanyak 1.170 kasus dengan 6 kematian. Sementara, periode yang sama di 2024 hanya sekitar 597 kasus. Angka ini merupakan kasus yang terdeteksi oleh Dinas Kesehatan Kota Cirebon.
Kondisi ini diperparah oleh fenomena perubahan iklim. Awal 2025, banjir rob melanda pesisir Kota Cirebon dan menenggelamkan sejumlah permukiman. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) mencatat, pada Mei saja sedikitnya 1.200 jiwa terdampak banjir pasang laut. Genangan yang berkepanjangan tidak hanya memicu kerugian ekonomi, tetapi juga menciptakan ekosistem ideal bagi nyamuk Aedes aegypti, sehingga meningkatkan risiko penyebaran DBD.
Sebenarnya Apa Penyebab dan Dampak DBD di Kota Cirebon?
Seperti namanya, Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus dengue yang ditularkan oleh gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedeh albopictus. Dua jenis nyamuk ini mudah berkembang biak di lingkungan dengan banyak genangan air, terutama pada musim hujan ketika kelembapan udara meningkat. Tidak mengherankan jika setiap tahun, grafik kasus DBD kerap melonjak pada periode penghujan.
Ciri-ciri utama DBD biasanya muncul dengan cepat. Penderita akan mengalami demam tinggi mendadak, bisa mencapai lebih dari 38-40°C. Hal ini disertai dengan gejala nyeri kepala hebat, hingga pegal-pegal dan nyeri pada sendi maupun otot. Gejala ini sering kali membuat pasien tampak lemah dan sulit beraktivitas.
Selain gejala klinis yang membahayakan, lonjakan kasus DBD juga berdampak serius pada kesiapan fasilitas kesehatan. Kota Cirebon misalnya, peningkatan jumlah pasien dalam beberapa pekan terakhir membuat Palang Merah Indonesia (PMI) setempat meningkat drastis seiring melonjaknya pasien DBD.
Dilansir dari Suara Cirebon, Ketua PMI Kota Cirebon, dr. Edial Sanif menyatakan bahwa dalam beberapa pekan terakhir mereka kewalahan melayani permintaan trombosit akibat meningkatnya kasus DBD yang menyebabkan penurunan kadar trombosit pada pasien.
Krisis stok terbukti cukup mengkhawatirkan. Trombosit dihasilkan melalui donor darah, sehingga bila tingkat donor darah rendah di tengah kebutuhan tinggi, stok cepat terkuras. Edial menyebut bahwa stok darah dan trombosit di PMI Kota Cirebon sangat terbebani karena banyak pasien yang membutuhkan.
“Semakin banyak kasus DBD, maka kebutuhan trombosit juga semakin tinggi. Karena saat seseorang mendonorkan darah salah satu komponennya adalah trombosit,” ujar Edi dikutip dari Suara Cirebon.
Fenomena ini memperlihatkan bahwa sistem distribusi dan stok komponen darah, khususnya trombosit, harus berada pada kesiagaan lebih tinggi. Jika permintaan terus naik, PMI dan rumah sakit memerlukan respons cepat seperti penggalangan donor darah massal, penyebaran stok antar wilayah, dan bantuan logistik. Tanpa itu, pasien dengan kondisi berat bisa terancam keterlambatan mendapat transfusi.
Kondisi di Cirebon juga menunjukkan bahwa pola serangan nyamuk Aedes aegypti mulai berubah, tidak lagi hanya ganas saat musim hujan atau pancaroba, tetapi juga pada musim yang dianggap lebih kering. Jika pola ini terus berlanjut tanpa pencegahan intensif, kasuskasus serupa dan tekanan pada stok medis akan terus meningkat.
Tanggapan Dinkes Kota Cirebon Tanggapan Kepala Dinas Kesehatan Kota Cirebon
Lonjakan kasus DBD di Kota Cirebon diakui sebagai bagian dari tren nasional yang hampir merata di berbagai daerah. Kondisi ini berdampak pada meningkatnya kebutuhan trombosit di rumah sakit. Kepala Dinas Kesehatan Kota Cirebon, dr. Siti Maria Listiawaty, menyebut stok darah memang sempat tertekan, tetapi masih dapat diantisipasi.
“Apabila ada kekurangan stok trombosit, sebenarnya ada beberapa mekanisme yang bisa dilakukan dan sampai sejauh ini masih bisa tertangani,” ujarnya pada Sabtu, 20 September 2025.
Siti Maria menjelaskan bahwa penyebab utama DBD adalah gigitan nyamuk Aedes aegypti yang aktif pada pagi hingga siang hari. Nyamuk ini lebih suka berkembang biak di air bersih ketimbang air kotor. Karena itu, ia menekankan pentingnya gerakan pencegahan di tingkat masyarakat.
“Yang perlu sangat kita lakukan adalah bagaimana kita melakukan Jumat Bersih dan upaya 3M, sehingga nyamuk ini tidak berkembang biak di sekitar kita,” katanya.
Ia juga mengingatkan bahwa genangan kecil tidak boleh dianggap sepele. Air yang menetes dari pendingin ruangan, wadah di bawah dispenser, atau cekungan di jalan bisa menjadi tempat berkembang biak nyamuk. Banyak laporan menunjukkan nyamuk pembawa virus dengue muncul dari sumber-sumber air sederhana yang sering luput dari perhatian warga.
Sebagai tindak lanjut, Dinas Kesehatan menggalakkan kerja bakti di pemukiman warga dan penggunaan larvasida untuk bak mandi. Selain itu, masyarakat juga disarankan menggunakan lotion anti-nyamuk dan melakukan penyemprotan mandiri di rumah.
“Sebenarnya tidak harus fogging semuanya, tapi bagaimana kita upaya untuk jangan membiarkan ada genangan air,” tutur Siti Maria.
Menurutnya, penanganan DBD tidak cukup hanya bergantung pada fasilitas kesehatan. Kedisiplinan warga menjaga kebersihan lingkungan menjadi kunci agar jumlah kasus bisa ditekan. Pemerintah menekankan bahwa upaya pencegahan bersama jauh lebih efektif daripada sekadar bertindak setelah kasus meningkat.
Krisis DBD di Kota Cirebon bukan sekadar soal angka pasien atau stok trombosit yang menipis, tetapi cermin rapuhnya kesiapsiagaan publik menghadapi ancaman yang datang berulang. Jika kesadaran warga untuk menjaga lingkungan tidak beriringan dengan langkah cepat pemerintah, maka Cirebon akan terus berada dalam lingkaran wabah yang sama: nyamuk berkembang biak, pasien bertambah, dan fasilitas kesehatan kewalahan. Pada akhirnya, yang dipertaruhkan bukan hanya statistik, melainkan nyawa manusia.
Penulis: Raihan Athaya Mustafa
Editor: Redaksi Mèrtika

0 Komentar