Tari di Sudut Gang, Menjaga Harmoni Tradisi dan Modernitas

 

Pelataran Bangunan KSK 237 - Dipotret oleh Raihan

Mèrtika, Cirebon – Dari balik jalan Bypass Brigjen Dharsono, Kelurahan Kertawinangun, Kecamatan Kedawung, samar-samar terdengar alunan gamelan menembus lorong sempit. Ujung gang Suta Jaya RT 10 RW 03, membuka jalan menuju sebuah pelataran sederhana, dengan gapura bambu kecil dan patung kayu yang seolah menyambut siapa saja yang datang. Tempat itu bernama Sanggar Seni Kresna Satya Kencana.

Bukan gedung mewah, melainkan halaman persegi panjang milik pribadi yang setiap sore berubah jadi panggung tari. Anak-anak datang satu-persatu, mengikat selendang dan beberapa aksesoris untuk menyemangati diri ketika latihan. Ada yang bersenda gurau, berlatih serius, ada pula yang masih malu-malu mengikuti irama. Dari wajah-wajah itu, tampak sebuah kegigihan, bahwa mereka sedang menjaga sesuatu yang lebih besar daripada sekadar gerakan tubuh. Mereka sedang menjaga identitas.

Sanggar Seni Kresna Satya Kencana ini digagas oleh Zana. Tentu ia dibantu oleh kawannya, Ibnu Hasan dan sejumlah pengurus lainnya. Mereka tak pernah menyangka akan begitu lekat dengan dunia tari. Bagi mereka, tari bukan sekadar gerak tubuh, melainkan bahasa jiwa yang menghubungkan manusia dengan akar budayanya.

Mèrtika mendapat cerita dari Ibnu Hasan, salah satu perintis sekaligus ketua sanggar. Mulanya, Zana dan dirinya melihat minimnya ruang ekspresi bagi anak muda Cirebon. Kerisauan itu muncul pada situasi pandemi Covid-19 pada tahun 2020. Kemudian mereka memutuskan untuk mengembangkan seni dan budaya. Tiga tahun kemudian, tepatnya pada 23 Juli 2022, sanggar ini resmi memiliki legalitas, sebuah pijakan penting untuk bergerak lebih jauh.


Ibnu Hasan Basri, Ketua Sanggar Kresna Satya Kencana - Dipotret oleh Raihan

Kini ada 54 anak dan remaja yang rutin berlatih di Sanggar Kresna Satya Kencana. Mereka datang dari berbagai latar belakang, dari anak sekolah dasar yang masih canggung melangkah hingga remaja yang piawai menari dengan tatapan penuh wibawa.

Bagi Ibnu, yang sadar bukan dari latar belakang “orang seni tari tradisional”, ia menilai rutinitas ini bukan hanya soal mengajar teknik tari. Ia sedang membangun karakter, disiplin dan kebanggaan pada budaya lokal.

“Saya ingin anak-anak ini mengenal tari dan  mengejar cita-citanya dalam sanggar ini," ujar Ibnu suatu sore. “Tari Tradisional Cirebon harus hidup di antara mereka, menjadi bagian dari keseharian. Kalau Yogya dan Bali punya seni yang jadi magnet dunia mengapa Cirebon tidak bisa?” kata Ibnu dengan nada optimistis.

Meski sanggar ini tumbuh dengan semangat besar, realitas yang dihadapi tidak mudah. Di balik setiap latihan, ada keringat orang tua yang berpartisipasi untuk melengkapi kebutuhan sanggar, Ibnu tak menutupi rasa kecewanya terhadap pemerintah.

“Kami membangun ini tanpa hambatan internal, tapi dukungan pemerintah terhadap seni tradisi sangat minim, seolah kami berjalan sendiri,” tuturnya.

Pernyataan itu menyiratkan sebuah ironi, di satu sisi, pemerintah selalu bicara soal pelestarian budaya dalam forum-forum resmi. Namun di lapangan, banyak sanggar seperti Kresna Satya Kencana yang dibiarkan mengandalkan kesadaran kolektif masyarakat.

Kenyataan ini membuat peran orang tua murid menjadi sangat penting, mereka bukan hanya mendukung anak-anak untuk menari, tetapi juga ikut menopang keberlangsungan sanggar. Jika keseimbangan itu bisa dijaga, seni tari Cirebon akan tetap punya ruang hidup, bahkan ia bermimpi suatu saat nanti, anak-anak didiknya bisa tampil di tingkat nasional atau bahkan dunia.

 

Antara Anak, Tari, dan Modernitas

Salah satu orang tua murid, Wawan, adalah contoh nyata bagaimana kesadaran kolektif itu bekerja. Ia memilih memasukkan anaknya ke Sanggar Kresna Satya Kencana bukan semata karena hobi, melainkan sebagai bentuk upaya kecil melawan derasnya arus modernitas yang terus membanjiri anak-anak zaman sekarang.

“Anak saya memang tertarik dengan tari. Kalau tidak saya arahkan ke sini, bisa jadi dia hanya akan sibuk dengan gawai dan game,” katanya.

Pilihan Wawan bukan tanpa alasan. Ia bercerita bahwa sang anak, yang kini sudah satu tahun bergabung di sanggar, awalnya tertarik dengan tarian K-pop. Dari media sosial, anaknya sering menonton video dance idola Korea dan berusaha menirukannya di rumah. Ketertarikan itu bagi Wawan adalah pintu masuk.

“Tari tradisional bukan soal gerakan semata. Ia adalah warisan. Kalau bukan kita yang menjaga, siapa lagi? Kalau anak hanya kenal K-pop dari medsos, bisa-bisa lupa kalau kita juga punya seni tari yang indah. Saya ingin gak melarang menari, tapi lebih baik dengan fondasi budaya kita sendiri. Ini juga karena anaknya mau ya” lanjutnya.

Sejak itu, sang anak rutin berlatih di sanggar, dan sudah berjalan hampir dua tahun. Wawan mengaku bangga melihat perubahan yang terjadi. Ia tidak hanya melihat anaknya semakin piawai bergerak, tetapi juga lebih disiplin, terbiasa menghargai waktu, bahkan lebih percaya diri saat tampil di depan banyak orang.

Alih-alih khawatir dengan kesibukan latihan tari anaknya, Ia justru menganggapnya sebagai ruang pendidikan alternatif. Ia percaya, dengan menari, anaknya belajar tentang disiplin, menghargai tradisi, sekaligus menemukan jati diri. Bagi dia, yang terpenting adalah keseimbangan.

Dengan adanya sanggar, anak-anak punya ruang tandingan. Mereka bisa tetap menikmati teknologi, tapi juga punya keterikatan pada tradisi. Di situlah letak pentingnya Sanggar Kresna Satya Kencana, menjadi jembatan antara dua dunia. antara globalisasi yang tak terelakkan dan tradisi yang tak boleh hilang.

Di tengah arus modernitas yang tak terbendung, Sanggar Kresna Satya Kencana bukan sekadar tempat latihan tari. Ia adalah perlawanan sunyi di sudut gang, tempat anak-anak belajar bahwa identitas tidak boleh hilang begitu saja. Dari langkah-langkah kecil mereka, Cirebon menjaga suaranya agar tetap bergema di masa depan.

 

 

Penulis: Raihan Athaya Mustafa

Editor: Redaksi Mèrtika

Posting Komentar

0 Komentar