Resah Kolektif dari Warung Kecil ke Pusat Negeri

 

Sumber: tirto.id

Mèrtika, Opini - Kematian Affan Kurniawan ramai dibicarakan di linimasa, suatu tragedi yang seharusnya tidak terjadi. Bagi sebagian orang, kabar memilukan tersebut memicu resposns kecaman dari berbagai lapisan masyarakat.

Kabar hangat itu juga sudah sampai hingga ke lapisan kecil seperti warmindo, yang tadinya warmindo hanya sebuah tempat solutif atas rasa lapar yang meraung, kini menjadi tempat organik pertemuan sekumpulan orang yang tak saling mengenal untuk membicarakan masalah bangsa.

Pembicaraan berlangsung dalam suasana ruangan khas warmindo, opini liar bersahut-sahutan disaksikan tembok hijau yang catnya sedikit mengelupas dan etalase mie instan, warung yang terletak di Jalan Kandang Perahu, itu rupanya sudah cukup menjadi tempat publik untuk bebas berpendapat.

Penulis mendapati 3 orang konsumen yang usianya sekitar 25-an akrab membicarakan kericuhan di Jakarta yang kengeriannya masih berlangsung hingga sekarang (29/08/25).

Penulis menduga bahwa mereka sebenarnya tidak saling kenal, terlihat ada yang mangkuknya sudah kosong dan sedang menyeruput teh hangat, ada yang sedang asik merokok sambil menggulir layar ponselnya, dan ada yang masih lahap menyantap indomie telur yang masih mengeluarkan uap.

Ketiga entah siapa ini punya keresahan yang sama atas peristiwa kemanusiaan yang terjadi di Jakarta, pasalnya indomie telur hangat yang tersaji itupun tak bisa membendung kemarahan individual, apalagi secara kolektif. Gelagatnya benar benar terlihat sangat jengkel pada tragedi semalam yang menjadi topik utama perbincangan diwarung, sesekali nada suara meninggi.

“Bangsat emang polisi,” ujar pria yang sedang makan tersebut. Dan satunya yang asyik dengan ponsel ikut menimpali, “Anjing,” sambil menunjukkan video singkat di gawai

Kalimat-kalimat spontan itu meluncur tanpa jeda, seakan mewakili kekesalan yang tak bisa mereka tahan.

Tak pernah terbayangkan sebelumnya bahwa tragedi semalam terasa sangat dekat disekitar kita, bahkan turut bertanggungjawab terhadap selera makan seseorang di sebuah warmindo kecil yang jauhnya  245 kilometer dari pusat kericuhan di Jakarta.

Perasaan peduli antar sesama terasa begitu solid di sini, padahal tak kenal satu sama lain. mereka resah, khawatir akan ketidakstabilan negara yang bisa berlangsung tanpa kurun waktu tertentu, disebabkan oleh ulah para pemangku jabatan.

Sungguh kengerian ini seperti bom waktu, atau suatu kelompok dari mereka memang mendesain kericuhan rakyat, agar berujung anarkis dan menjadikan suasana bertambah keruh dengan melontarkan statement goblok dan tindakan bodoh mereka.

Jika pemangku jabatan dan berbagai instansi tidak segera berbenah, semangat perlawanan akan terus menyebar ke seluruh kota tanpa ada jaminan kondusifitas. Memang keparat, mereka benar-benar harus diingatkan sejarah Republik ini 27 tahun yang lalu.



Penulis: Farhat Kamal

Editor: Redaksi Mèrtika

Posting Komentar

0 Komentar