Budaya Spiritual Luhur yang Dibajak dan Dikerdilkan : Keris dan Tantra

 

Buku Tantra Ilmu Kuno Nusantara Karya I Ketut Sandika - Dipotret oleh Alfa Julian

Mèrtika, Opini – Banyak orang tidak menyadari bahwa setiap media yang dikonsumsi, baik berupa audio maupun visual, selalu didesain untuk membawa sebuah pesan tertentu. Pesan itu bisa saja ditangkap secara sadar, tetapi sering kali justru direkam oleh alam bawah sadar. Itulah sebabnya, meskipun banyak orang menganggap media hanya sebagai hiburan atau sekadar fiksi, sebenarnya di dalamnya kerap tersimpan maksud lain yang lebih dalam.

Hal ini terlihat jelas pada film horor Indonesia. Hampir selalu, film jenis ini menampilkan aspek-aspek lokal sebagai figur jahat. Mantra-mantra ritual berbahasa Jawa atau Sunda, atribut gamelan, keris, kemenyan, kembang, bahkan hingga tradisi budaya tak benda seperti primbon dan weton dijadikan ornamen mistik. Tidak jarang pula kisah-kisah sejarah leluhur secara sembarangan dikaitkan dengan narasi kejahatan. Maka, alih-alih mengangkat nilai luhur budaya, film-film itu justru seolah didesain untuk membajak makna identitas lokal kita.

Kondisi  itu seolah bermaksud untuk mematenkan mental mistik, akan identitas lokal atau jati diri bangsa ini yang super klenik. Akibatnya, banyak sekali orang kita yang lebih mengenali kemenyan sebagai sesaji daripada kemenyan yang merupakan suatu ollibanum, sebuah komoditas mewah bahan pembuatan parfum. Bahkan, Keris yang diakui UNESCO sebagai warisan budaya, sering kali dijadikan simbol tempat bersemayamnya kekuatan jahat. Banyaknya pembajakan makna, pengkaburan sejarah, dan pematenan figur klenik ini seperti didesain dengan sengaja dan dengan tujuan tertentu.

Asumsi tersebut datang bukan tanpa alasan, berdasarkan hasil studi komparatif, industri film dalam media kelas dunia pun di Amerika serikat, memiliki agenda untuk membentuk pemahaman publik melalui peraturan perfilmannya. Academy of Motion Picture Arts and Sciences (Oscar) sejak tahun 2024 menetapkan syarat keberagaman agar film bisa masuk nominasi “Best Picture”. Platform seperti Netflix, Disney, dan Amazon memiliki internal diversity quota, mendorong kehadiran karakter dari berbagai latar belakang ras, gender, dan orientasi. Lantas, Apa tujuan dari peraturan itu?

Tentu untuk mendorong multikulturalisme, mencegah white-supremacist dan terciptanya open border society (masyarakat bebas), dan hal itu sesuai dengan visi partai sayap kiri Amerika yaitu Demokrat.

Pembajakan makna, pengkaburan sejarah, dan penguburan identitas dapat dilihat dengan sangat jelas melalui film seperti Pusaka dan yang terbaru Labinak. Pusaka bercerita tentang keris bertuah yang harus memakan tumbal 7 nyawa ketika dibangkitkan. Mengutip dari Tempo, Kepala Produksi MVP Picture Amrit Punjabi yang berperan dalam pembuatan film ini menyampaikan bahwa, “hal yang ingin ditonjolkan dalam film ini adalah membuat film yang terinspirasi dari cerita rakyat, dalam hal ini kisahnya Mpu Gandring” tuturnya dalam press screening pada jumat 12 juli 2024.

Sangat disayangkan bahwa apa yang disampaikan oleh Amrit Punjabi itu sangat berbeda dengan apa yang ditampilkan dalam film. Film pusaka justru menampilkan keris dengan latar belakang dari kisah peperangan saudara antara Kerajaan Janggala (Raja Samarotsaha) dan Kadiri (Raja Jayabaya) yang tentunya tidak memiliki kisah akan keris bertuah. Sehingga dapat dikatakan figur keris bertuah dari Raja Samarotsaha yang berambisi mengalahkan kediri yang dinarasikan dalam film tersebut adalah fiktif.

Makna dan Kisah Keris yang Sebenarnya

Periode Janggala dan Kadiri pun sangat jauh dari periode dimana kisah keris Mpu Gandring terbentuk yaitu pada periode setelahnya, Singashari. Dan kisah akan keris ini pun sebenarnya adalah kisah yang dibuat untuk menggambarkan periode saling balas dendam antara keturunan Tunggul Ametung dan Ken Arok dalam faksi politik di keluarga bangsawan Singashari. Tunggul Ametung dibunuh oleh Ken Arok, lalu Ken Arok dibunuh kembali oleh Anusapati yang merupakan anak dari Tunggul Ametung. Anusapati pun dibunuh kembali oleh Tohjaya dan Tohjaya dibunuh kembali oleh utusan Ranggawuni (Putra Anusapati). Periode itu pun berhenti dimasa antara Mahesa Cempaka dan Wisnuwardhana yang bersepakat untuk menghentikan takhta berdarah. Daripada kesepakatan damai itu, Wisnuwardhana mampu menciptakan stabilitas internal yang membuahi lahirnya Raja sekelas Kertanegara dan Putri Gayatri yang menjadi bibit dari lahirnya periode majapahit.

Artinya kisah keris Mpu Gandring pun jika ditafsirkan sebagai keris yang meminta tumbal, terlebih dengan diadaptasi menjadi film horor yang menampilkan adegan keji dan sadis. Hal itu bukan hanya penyelewengan sejarah, tetapi juga pengkerdilan, karena berpotensi mempengaruhi citra atau penilaian yang buruk terhadap identitas bangsa.

Film Labinak bahkan lebih jauh lagi, dengan menampilkan ritual Tantra Bhairawa yang dipelintir menjadi praktik kanibalisme. Persoalannya bukan pada horor atau adegan ekstrem, melainkan pada penyalahgunaan ritus lokal yang digambarkan penuh kebiadaban. Padahal, Tantra sejatinya adalah tata laku spiritual untuk mencapai kesadaran penuh, bukan ajaran dogmatis. Ia menghubungkan kesadaran personal (Sunyatma) dengan kesadaran kosmik (Paramasunyatma).

Mengenal Tantra dan Bhairawa

Terdapat sebuah buku karya dari I Ketut Sandika berjudul “Tantra, Ilmu kuno Nusantara”. Dikatakan bahwa Tantra merupakan Kitab Kehidupan yang membumi, bukan kepercayaan yang penuh dogma sebagaimana keyakinan lainya yang terorganisasi, di mana ajarannya dituliskan sebagai rujukan dan panutan dalam bentuk ayat suci yang tidak pernah beradaptasi. Tantra merupakan tata laku spiritual yang mana tujuannya adalah kesadaran penuh. Meraih pemahaman dan pengendalian antara jiwa secara personal yang disebut Sunyatma dan jiwa kosmik yang disebut Paramasunyatma. Dan hasil dari pemahaman dan pengendalian itu adalah diri sejati yang luhur, sebagai mana mestinya. Bukan diri yang penuh dengan hipokrifitas (kemunafikan).

Secara etimologis, Tantra berasal dari kata Sanskerta “tan” (mengembang, meregangkan) dan “tra” (alat, instrumen). Artinya, metode untuk memperluas kesadaran dan energi. Tujuan Tantra meliputi moksa (pembebasan ego), wistara (perluasan kesadaran semesta), serta integrasi pikiran yang membuat manusia berani menghadapi suka maupun duka kehidupan

Simbol Bhairawa dalam Tantra merepresentasikan aspek Śiwa yang penuh keberanian, dominasi, sekaligus penghancuran. Nama “bhaya-rava” sendiri berarti penghancur ketakutan. Karena itulah para raja Nusantara banyak menginternalisasi ajaran Bhairawa sebagai karakter kepemimpinan yang tangguh. Namun dalam praktiknya, Tantra memiliki dua sisi: asketik (kanan) yang menahan pancaindra, dan romantik (kiri) yang justru mengendalikannya melalui pengalaman. Kedua sisi ini bukan kontradiksi, melainkan jalan menuju keseimbangan kesadaran semesta.

Nama Bhairawa sendiri berasal dari kata (bhaya = ketakutan dan rava = Penghancuran). Sehingga Bhairawa dapat diartikan sebagai pembebas dari ketakutan. Hal ini lah yang mungkin menjadi alasan mengapa aliran tantra banyak dipraktikan oleh raja raja baik dari era Sriwijaya, Medang, Kahuripan Kadiri , Singashari dan Majapahit.  Karena seorang Raja perlu menginternalisasikan karakter dari Bhairawa yang digdaya (penuh kekuatan) agar tidak ragu dalam mengambil tindakan untuk keamanan, stabilitas dan kekuasaan Kerajaan.

Tantra Kiri dan Kanan

Sayangnya, film modern menggambarkan Tantra seolah-olah hanya berisi ritual publik penuh darah. Padahal inti Tantra adalah windu rahasya muka, praktik sunyi yang rahasia. Bahkan, ritual tingkat tinggi seperti Pancamakala puja tidak pernah berupa pengorbanan manusia, melainkan pemenuhan syarat-syarat tertentu seperti mada (meminum arak), matsya dan mamsa (memakan ikan dan daging), mudra (gestur mistik), serta maithuna (penyatuan dengan perempuan). Semua itu dilakukan secara pribadi dan dengan kendali spiritual yang ketat.

Para Tantrika tidak butuh legitimasi dan hak untuk rumah ibadah dan komunitas mereka. Mereka hanya fokus kepada musuh sejatinya, (Sadripu) enam kejahatan yaitu (kama) nafsu, (lobha) tamak, (krodha) amarah, Moha (dilema/kebingungan), (mada) kecanduan, dan matsarya (iri/dengki).

Entah bagaimana ajaran setinggi ini, yang merupakan ajaran yang sukses, Malah digambarkan sebagai sekte kanibal dengan ritual pengorbanan manusia yang dilakukan secara beramai-ramai, padahal asas Tantra adalah rahasya muka atau rahasia, sunyi, tenang dan damai.

Memang dalam aliran tantra kiri tingkat tinggi terdapat ritual yang disebut dengan Pancamakala puja. Namun bukan dengan mengorbankan dan memakan daging manusia. Tetapi memuaskan hawa nafsu untuk mencapai titik jenuh dan hal itu dilakukan dengan banyak prasyarat dan tidak sembarang. Pancamakala puja meliputi,

1.      Mada : minum arak dan yang memabukkan lainya

2.      Matsya dan mamsa : memakan ikan dan daging merah

3.      Mudra : melakukan ritual dengan gerakan tangan mistik yang biasanya dilakukan sembari samadhi (duduk bersila) atau menari

4.      Maithuna : menyentuh wanita

 

Kisah Calonarang

Kisah Calonarang sebenarnya juga menggambarkan perbedaan antara Tantra kanan (Widya Tantra) dan kiri (Awidya Tantra). Calonarang yang sakti dianggap ancaman hingga akhirnya ditandingi Mpu Bharadah, seorang praktisi Tantra kanan. NKisah Calonarang sebenarnya juga menggambarkan perbedaan antara Tantra kanan (Widya Tantra) dan kiri (Awidya Tantra). Calonarang yang sakti dianggap ancaman hingga akhirnya ditandingi Mpu Bharadah, seorang praktisi Tantra kanan. Namun kemenangan Bharadah terjadi karena ia juga mempelajari ilmu Tantra kiri melalui muridnya, Mpu Bahula. Kisah ini melambangkan bahwa kekuatan harus berjalan beriringan dengan kesadaran. Tanpa kesadaran, kekuatan bisa menyimpang; tanpa kekuatan, kesadaran bisa menjadi lemah.

Jika diteliti lebih dalam, keterkaitan antara Tantra dan keris pun nyata. Bilah keris yang berkelok dengan ujung lurus ternyata bukan sekadar desain. Ia melambangkan keseimbangan Śiwa dan Śakti: kesadaran universal yang teguh dan kekuatan yang dinamis. Filosofi ini sejatinya adalah kepribadian Jawa: konsisten dalam tujuan, tetapi adaptif dalam laku.

Sayangnya, makna luhur itu sering kali dikaburkan oleh industri film yang lebih memilih menjual sensasi mistis. Alhasil, identitas lokal tidak tampil sebagai kekayaan budaya, melainkan citra klenik yang menakutkan. Dari situ muncul pertanyaan: apakah ini sekadar tren hiburan, atau memang ada agenda yang lebih besar untuk membajak makna, mengaburkan sejarah, dan mengerdilkan jati diri bangsa?amun kemenangan Bharadah terjadi karena ia juga mempelajari ilmu Tantra kiri melalui muridnya, Mpu Bahula. Kisah ini melambangkan bahwa kekuatan harus berjalan beriringan dengan kesadaran. Tanpa kesadaran, kekuatan bisa menyimpang; tanpa kekuatan, kesadaran bisa menjadi lemah.

Jika diteliti lebih dalam, keterkaitan antara Tantra dan keris pun nyata. Bilah keris yang berkelok dengan ujung lurus ternyata bukan sekadar desain. Ia melambangkan keseimbangan Śiwa dan Śakti: kesadaran universal yang teguh dan kekuatan yang dinamis. Filosofi ini sejatinya adalah kepribadian Jawa: konsisten dalam tujuan, tetapi adaptif dalam laku.

Sayangnya, makna luhur itu sering kali dikaburkan oleh industri film yang lebih memilih menjual sensasi mistis. Alhasil, identitas lokal tidak tampil sebagai kekayaan budaya, melainkan citra klenik yang menakutkan. Dari situ muncul pertanyaan: apakah ini sekadar tren hiburan, atau memang ada agenda yang lebih besar untuk membajak makna, mengaburkan sejarah, dan mengerdilkan jati diri bangsa?

 

Penulis: Alfa Julian

Editor: Redaksi Mèrtika

Posting Komentar

0 Komentar