Off the Record: Suara Seorang Anggota DPRD Kota Cirebon di Tengah Amukan Massa

 

Sumber Foto: Asep Raharjo

Mèrtika, Cirebon - Salah seorang anggota DPRD Kota Cirebon yang meminta identitasnya dirahasiakan, bercerita kepada Mèrtika tentang hari paling menegangkan. Yakni saat Gedung DPRD Kota Cirebon porak-poranda akibat amukan massa, 30 Agustus 2025.

Menurut pengakuannya, tanda-tanda gelombang aksi ini sudah ia perkirakan jauh sebelum terjadi. Ia membaca arah arus massa sejak kabar meninggalnya Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek online yang tewas dilindas aparat di pusat demonstrasi Jakarta. Kabar duka itu, katanya, merembet cepat ke daerah. Tak terkecuali di Cirebon.

“Mahasiswa pasti akan bergerak. Apalagi ini menyangkut wajah DPR RI, dan kami di daerah otomatis menjadi sasaran emosinya,” ungkapnya lirih.

 

Koordinasi Diam-diam

Sebagai bagian dari institusi yang rentan diserang, ia mengaku sudah melakukan upaya pengamanan sejak awal. Jalur komunikasi dibuka lebar hingga ke jajaran pengamanan. Kekhawatiran kian bertambah setelah komunitas ojek online di Cirebon melayangkan surat pemberitahuan aksi, disusul demonstrasi mahasiswa UIN Siber Syekh Nurjati pada malam 29 Agustus 2025 di depan Polres Ciko.

Malam itu, mahasiswa menutup aksinya dengan pesan keras:” akan ada gelombang yang lebih besar esok hari”.

Pemerintah kota, menurutnya, sempat mengupayakan langkah persuasif agar aksi itu dibatalkan. Dan memang, Sabtu pagi, kondisi kota tampak tenang. Massa terpusat ke Kabupaten Cirebon. Ia pun sempat merasa lega. Bahkan menyempatkan diri singgah ke gedung dewan.

Namun ketenangan itu rapuh. Seusai Dzuhur, linimasa media sosial mendadak riuh. Siaran langsung penjarahan di Kabupaten Cirebon viral.

 “Seketika grup WhatsApp DPRD meledak. Rekan-rekan mengingatkan agar segera amankan barang-barang penting,” kenangnya.

Ia pun menyaksikan sejumlah anggota dewan dan staf sekretariat berdatangan, terburu-buru memindahkan dokumen vital. Ia sendiri, spontan menggeser mobilnya ke halaman Hotel Prima, tepat di sebelah gedung dewan. Hal ini sekadar langkah antisipasi.

Tetapi hatinya masih cukup berani. Ia merasa aman karena komunikasi dengan mahasiswa terus berjalan.

“Saya tanya lewat WhatsApp, mereka jawab: masih di Kabupaten pak, masih bertarung di sana,” ujarnya menirukan pesan singkat itu.

...

Sekitar setengah jam kemudian, suasana berubah total. Dari dalam ruang pertemuan di lantai dua, ia mendengar suara massa menggelegar.

“Woy! Woy! DPRD!” teriak mereka. Lalu, suara keras menghantam kaca. Crang!  Batu melesak menembus jendela.

Dua petugas keamanan langsung berlari ke lantai dua, mengawalnya ke pintu darurat. Dalam hitungan detik, gedung DPRD berhasil ditembus massa. Ia bersama sekuriti pontang-panting melarikan diri.

Ia sempat merekam detik-detik kepanikan itu dengan ponselnya, video yang kemudian ia tunjukkan.

“Saya bilang, tenang-tenang, jangan panik. Padahal semua sudah porak-poranda,” tuturnya getir.

 

Wajah Oknum Massa yang Membingungkan

Setelah berhasil keluar dan menyalakan mobil, matanya menangkap pemandangan aneh. Di jalan menuju DPRD, ia berpapasan dengan enam sampai tujuh anak berusia tanggung berboncengan motor, garis putih pasta gigi di bawah mata mereka.

Ia spontan menghentikan mereka. “Ira mendi, mas?” tegurnya dengan nada keras.

Salah seorang menjawab gugup, “Eeeh… anu, pak… gedung DPRD.”

Menurutnya, momen itu menjadi refleksi penting. Bahwa tidak semua massa tahu betul apa yang sedang mereka lakukan. Ada yang hanya terbawa arus, ada pula yang mungkin sengaja diarahkan.

“Yang jelas, bagi kami di DPRD, hari itu bukan hanya soal kerusakan gedung. Tapi pelajaran bahwa gelombang kemarahan publik bisa sangat cepat membesar, tanpa bisa diprediksi ujungnya,” pungkasnya.

 

Penulis: Raihan Athaya Mustafa

Editor: Redaksi Mèrtika

Posting Komentar

0 Komentar