| Aliansi Mahasiswa Cipayung Plus - dipotret oleh Raihan |
Mèrtika, Cirebon — Sejumlah titik Kabupaten Cirebon berubah menjadi hari penuh asap, teriakan, dan luka. Ribuaan massa aksi datang dengan tiga gelombang. Mulai dari pelajar, mahasiwa dan ojek online, hingga aliansi mahasiswa Cipayung Plus.
Dalam hal ini, Mèrtika mengawal aliansi mahasiswa Cipayung Plus. Diantaranya, PMII, HMI, GMNI, IMM, KAMMI, hingga PERSIS. Mereka membawa isu nasional yang dianggap sebagai luka kolektif bangsa, yakni kenaikan gaji DPR-RI yang dinilai tidak masuk akal, sahkan Rancangan Undang-Undang perampasan aset negara, serta keadilan atas meninggalnya Affan Kuriawan yang dilindas oleh aparat.
Aksi ini dimulai pukul 09.00 WIB di kawasan Simpang Empat Plered. Spanduk, megafon, dan orasi bersahutan. Massa berbaris rapat, sebagian mengenakan almamater kebanggaan mereka. Dari sana, barisan mahasiswa bergerak menuju Polresta Cirebon sekitar pukul 10.30 WIB. Sepanjang perjalanan, terdapat sambut warga yang membagikan air mineral di pinggir jalan.
Namun, idealisme yang mereka bawa dari kampus menuju polresta berubah menjadi situasi ricuh ketika kerumunan massa kian membesar dan tak terkendali. Batu dan benda keras melayang ke arah gedung Polresta Cirebon. Polisi merespons dengan tembakan gas air mata, lebih dari lima kali, yang membuat udara di sekitar markas kepolisian itu sesak dan perih.
Dalam hitungan menit, suasana berubah drastis. orasi berubah menjadi jeritan umpatan, langkah teratur berubah menjadi lari kocar-kacir, dan idealisme berubah menjadi luka di tubuh para demonstran.
Rute yang Disepakati, Kemarahan yang Memuncak dan Luka di Jalan Demokrasi
| Jamaludin Bachtiar - dipotret oleh Raihan |
Menurut Jamaludin Bachtiar, koordinator lapangan aksi dari PMII, perencanaan demonstrasi ini tidak dilakukan secara asal. Ia menjelaskan bahwa rute aksi adalah hasil konsolidasi yang dilakukan malam sebelumnya.
“Perihal rute itu bagian dari kesepakatan dari hasil konsolidasi malam sebelumnya. Awalnya dari Kampus UIN Syekh Nurjati Cirebon, lalu berangkat ke lampu merah Plered. Itu bagian dari upaya memberi tahu khalayak bahwa ini merupakan isu nasional. Ini bentuk kemarahan dari mahasiswa,” ujar Jamaludin.
Jamaludin juga mengakui adanya tekanan dan hambatan sebelum aksi berlangsung. Dari larangan halus yang disampaikan lewat pesan singkat WhatsApp, hingga intimidasi untuk tidak turun ke jalan. Meski begitu, massa aksi tetap bergerak dengan kekuatan yang menurutnya mencapai sekitar 670 orang.
“Kalau dari STM-nya sendiri itu merespons saja. Ini memang rencana kita. Harapannya, yang pertama skala nasional yaitu selesaikan urusan perampasan aset. Ini harus diselesaikan secara seadil-adilnya terkait pembunuhan oleh pihak kepolisian, serta reformasi Bakorwil,” tegasnya.
Ketika kericuhan pecah di depan Polresta Cirebon, gelombang mahasiswa berusaha bertahan di tengah kepulan gas air mata. Namun, benturan itu menghasilkan korban.
Lebih dari 10 orang mahasiswa dilaporkan mengalami luka-luka. Mulai dari kepala bocor, kaki yang berdarah terkena pecahan kaca, hingga sesak napas akibat paparan gas air mata. Jumlah ini tersebar di dua titik, yakni DPRD Kabupaten Cirebon dan Polresta Cirebon.
Di tengah situasi genting itu, sejumlah relawan medis mahasiswa dari berbagai kampus di Cirebon bergerak cepat. Salah satunya adalah Korps Sukarela (KSR) PMI Unit UMC dan KSR Unit UGJ. Mereka datang tanpa bayaran, hanya dengan tekad untuk membantu teman-teman yang tumbang di jalanan.
Ica, anggota KSR UMC, menceritakan bagaimana dirinya dan tim relawan bekerja sejak pagi.
| Ica dan Ibrania - dipotret oleh Farhat Kamal |
“Kami dari jam 9 kumpul di Plered dulu. Tadi juga sempat ke titik yang lain. Kita pertama ke Plered, terus jalan ke arah Polres, lalu baru ke DPRD. Di Polres kami dari jam setengah sebelas. Kami banyak sih yang menangani. Karena di sini (Polres) banyak yang bocor, di sana (DPRD) juga banyak yang bocor. Sama ini, kakinya banyak luka juga, kena besi, kena kaca. Ada banyak, lebih dari sepuluh,” ungkapnya.
Hal senada juga disampaikan Ibrania dari KSR UGJ. Baginya, apa yang terjadi hari itu bukan sekadar tugas kemanusiaan biasa. Ia sadar bagaimana bahwa aksi massa membutuhkan penangan medis.
Asa di Tengah Luka
Aksi mahasiswa Cipayung Plus di Cirebon bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri. Ia merupakan bagian dari gelombang keresahan nasional terhadap pemangku kebijakan negara yang dianggap semakin menjauh dari rasa keadilan publik. Kenaikan gaji DPR-RI yang fantastis menjadi simbol ketimpangan, sementara kematian Affan Kurniawan menjadi simbol luka.
Harapan mereka sederhana namun mendasar negara hadir untuk menegakkan keadilan, bukan sebaliknya. Mereka menuntut pengesahan Rancangan Undang-Undang perampasan aset, keadilan atas kematian Affan, dan reformasi bakorwil.
Meski aksi berakhir ricuh, sekitar pukul 15.00 WIB suasana sempat kondusif. Gas air mata menghilang bersama sore, meninggalkan jejak batu berserakan, spanduk yang robek, dan fasilitas umum yang runtuh.
Di balik luka-luka yang masih membekas, ada pesan yang hendak mereka titipkan: bahwa kemarahan mahasiswa adalah tanda sayang pada negeri, dan bahwa darah yang menetes adalah pengingat bahwa demokrasi tak pernah datang dengan murah.
Reporter: Farhat Kamal
Penulis: Raihan Athaya Mustafa
Editor: Redaksi Mèrtika
0 Komentar