Masih TPA Kopi Luhur: Suara Warga, Tokoh, dan Mahasiswa Bersatu Desak Pemerintah

 

Kolam Penampungan Air Lindi TPA Kopi Luhur - dipotret oleh Raihan

Mèrtika, Cirebon – Bau anyir lindi dari Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Kopi Luhur tengah memasuki babak kedua, setelah gelombang protes mahasiswa belum juga digubris oleh pemerintah kota.  Babak lanjutan ini ditandai dengan meningkatnya desakan agar pemkot  segera mengambil langkah konkret, menyusul kekhawatiran pencemaran lingkungan dan dampak kesehatan yang terus mengemuka.

 

Surat Mahasiswa yang Menggantung di Meja Pemkot

Pada 29 Juli 2025, perwakilan dari aliansi mahasiswa yang tergabung dalam Forum Diskusi Mahasiswa’ 45 (Fordisma’45) dan GugatanRakyat Cirebon (GRC) melayangkan surat kepada Wali Kota, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan Polres Cirebon Kota. Surat itu berisikan desakan untuk duduk bersama membahas tempat Pembuangan Akhir Kopi Luhur dan nasib warga sekitarnya. Langkah ini mereka ambil setelah menilai upaya Dinas Lingkungan Hidup belum memenuhi harapan.

Alih-alih terpaku pada polemik anggaran yang selalu jadi kambing hitam Pemerintah Kota, mereka meminta langsung kepada Wali Kota, Effendi Edo dan Wakilnya Siti Farida Rosmawati, untuk turun tangan. Sebab, dalam visi dan misi mereka saat kampanye dulu, ada komitmen soal pengelolaan sampah yang humanis dan berkelanjutan. Gerry Bayu Samudra, Ketua GRC, menyebut surat itu sebagai upaya lanjutan.

 “Bahwasanya kita kan belum menemui Wali Kota secara langsung untuk menyelesaikan masalah Kopi Luhur,” ungkapnya selepas mengantar surat tersebut.

Kala itu, pihak mahasiswa memberi waktu tiga hari ke depan untuk instansi memberi tanggapan. Ini tak lain dari upaya menarik pemerintah untuk melakukan kajian bersama. Sebenarnya, pemerintah telah melakukan tindakan cepat dengan pengadaan air sumur bor. Namun dinilai dan memang terkesan hanya bersifat sementara. Hal ini diutarakan oleh Muhammad Romadoni sekretaris GRC.

"Butuh jawaban pasti, intinya mas" tegas Doni setelah ungkapan Gerry di Polres Ciko.

Selang beberapa hari kemudian, penantian tanggapan seperti deja vu yang tak menyenangkan, balasan yang dinanti tak kunjung datang. Aspirasi yang dibawa mahasiswa itu dikesankan oleh pemerintah kota hanya secarik kertas yang tertinggal di meja birokrat. Tak ada jawaban, tak ada audiensi.

Merasa diabaikan, Fordisma’45 dan GRC kembali melayangkan surat kedua dengan nada yang lebih tegas. Tuntutannya tidak berubah, tuntaskan persoalan open dumping di TPA Kopi Luhur. Hal ini diperkuat oleh Perda Nomor 8 Tahun 2012 tentang Tata Ruang Wilayah; Perda Nomor 4 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Sampah; serta penegakan Perwal Nomor 25 Tahun 2021.

“Ini surat kedua kalinya ya,” kata Vansa Ketua Fordisma’45, dalam nada yang mencoba menahan jengah di depan gedung sekretariat DPRD. “Karena dari pihak Wali Kota belum ada respons. Ini bentuk penegasan. Ini bertujuan untuk melakukan audiensi,” lanjutnya.

Ruang elak pemkot semakin menyempit, hanya menyisakan satu sudut, yaitu penyelesaian. Pasalnya, mereka juga mesti bertanggung jawab atas tiga titik air sumur bor di blok Sumurwuni, yang ternyata belum bisa digunakan. Sementara blok Kalilunyu, area bawah TPA Kopi luhur mengungkapkan dampak pencemaran terhadap kulit.

 

Air Tercemar, Kulit Gatal, dan Wajah Krisis Lingkungan

Lengan Sri Hayati dan Air Sumur yang Keruh dari Asep Hidayatullah


Di Kampung Kalilunyu, RT 04 RW 04, krisis lingkungan telah menjadi kenyataan yang pahit bagi warga. Air sumur yang dulu menjadi tumpuan hidup, kini berubah menjadi sumber penyakit. Asep Hidayatullah, Ketua RT setempat, menceritakan bahwa sumur-sumur di wilayahnya sudah lama tidak lagi layak digunakan akibat tercemar air lindi dari Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Kopi Luhur.

“Airnya bau, warnanya keruh. Kami tidak berani pakai untuk masak atau mandi karena bikin gatal-gatal. Sumur-sumur di sini sudah tidak digunakan lagi,” ungkap Asep.

Sebagian besar warga terpaksa menutup sumur mereka dan beralih membeli air galon untuk kebutuhan sehari-hari. Keputusan ini memang menyelamatkan kesehatan, tetapi sekaligus menambah beban pengeluaran, terutama bagi keluarga yang penghasilannya pas-pasan. Sri Hayati, salah satu warga, mengaku sudah dua tahun meninggalkan air sumur.

“Kalau dipakai malah bikin gatal-gatal. Baunya menyengat, warnanya keruh. Jadi terpaksa beli air,” ujarnya sambil menunjukkan bekas iritasi di tangannya.

Situasi ini memperlihatkan wajah krisis lingkungan yang tak terbantahkan. Bukan hanya alam yang teracuni, tetapi juga kesehatan, ekonomi, dan kehidupan sosial warga ikut tergerus. Krisis air bersih di Kalilunyu hanyalah satu potret kecil dari permasalahan besar yang menghantui Argasunya, sementara janji penyelesaian dari pemerintah masih sebatas kata-kata.

 

Desakan Stakeholder dan Tokoh Masyarakat

Atas, Pengasuh Ponpes Benda Kerep, Kiai Muhammad Miftah; Kiri, Ketua RW 4, Udin; dan kanan, Anggota Komisi III DPRD Kota Cirebon, Umar S. Klau


Krisis lingkungan akibat TPA Kopi Luhur yang tak kunjung tertangani kini memicu gelombang desakan dari berbagai kalangan. Bukan hanya warga terdampak yang bersuara, tetapi juga tokoh masyarakat, hingga lembaga legislatif kota. Mereka menilai, persoalan ini sudah berada di titik darurat dan tidak boleh lagi direspons dengan kebijakan setengah hati.

Udin, Ketua RW 4 Argasunya contohnya. Setelah membaca draf permohonan audiensi yang berisi tiga poin utama, menurut Udin gerakan mahasiswa ini terasa lebih serius dibanding pihak-pihak yang sebelumnya mengatasnamakan warga tetapi menghilang setelah proses “transaksi” tertentu.

“Saya berharap masalah warga Argasunya ini bisa diselesaikan sampai ke akar, dan pemerintah tidak hanya bergerak saat tahun politik datang,” ujarnya ketika didatangi mahasiswa setelah melayangkan surat pada 29 Juli 2025.

Desakan juga datang dari kalangan legislatif. Umar S.Klau, anggota Komisi III DPRD Kota Cirebon, menilai bahwa pemerintah daerah harus segera mengambil langkah konkret, mulai dari memperbaiki sistem pengelolaan sampah hingga membangun fasilitas yang memadai. Ia menilai pemerintah kota terlalu sibuk dengan program seremonial yang disebutnya sebagai belanja masalah, bukan penyelesaian masalah.

“Argasunya ini sudah masuk tahap krisis. Kita bicara TPA Kopi Luhur, bicara galian C, semua itu belum selesai, tapi yang muncul malah kegiatan seremonial yang objek wilayahnya bukan yang paling genting,” kritik Umar.

Yang ia maksud adalah Program Sapa Warga yang diluncurkan Wali Kota Effendi Edo. Menurutnya, program itu tidak tepat sasaran jika Argasunya, dengan segala beban lingkungannya, tidak menjadi prioritas kunjungan dan penanganan.

Terkait surat-surat audiensi dari mahasiswa, Umar menyebut hal itu sebagai hak konstitusional warga dan mahasiswa untuk menyampaikan aspirasi. Ia menilai justru pemerintah perlu merespons cepat sebagai bentuk komitmen.

“Kalau surat sudah dikirim berkali-kali dan tidak dijawab, itu tanda komunikasi kita bermasalah. Padahal, menyelesaikan masalah seperti Argasunya ini tidak cukup lewat laporan di meja, tapi harus lewat dialog terbuka,” katanya.

Nada serupa juga disampaikan Kiai Muhammad Miftah, Pengasuh Pondok Pesantren Benda Kerep, yang ikut angkat suara. Menurutnya, pencemaran lingkungan bukan hanya persoalan teknis, tetapi juga menyentuh aspek moral dan keadilan sosial. Ia mengingatkan bahwa menjaga lingkungan adalah amanah yang harus diemban bersama.

“Saya sangat prihatin, karena TPA itu bisa mempengaruhi air bersih di sekitar sini. Warga Kalilunyu, Sumuruni, RW 7, dan RW 4 sudah lama merasakan. Saya minta pemerintah, dari lurah, camat, wali kota, provinsi, bahkan pusat, untuk memperbaiki pengelolaan TPA. Jangan sampai pencemaran ini dibiarkan,” ujarnya.

Desakan dari berbagai pihak ini semakin mempertegas bahwa masalah TPA Kopi Luhur sudah menjadi persoalan bersama. Warga meminta kepastian, DPRD mendesak aksi konkret, dan tokoh agama mengingatkan tanggung jawab moral. Tekanan yang datang dari tiga arah ini, masyarakat, legislatif, dan tokoh publik menciptakan momentum penting yang jika diabaikan, berpotensi menambah panjang daftar krisis lingkungan di Cirebon.

Di tengah semua suara ini, satu pesan mengemuka. Waktu tidak lagi berpihak. Setiap hari yang terlewat tanpa solusi adalah hari di mana warga Kalilunyu dan sekitarnya terus hidup dalam ketidakpastian. Jika stakeholder kota tidak segera bergerak, bukan hanya air yang tercemar, tetapi juga kepercayaan publik yang akan terkikis habis.

 

 

Penulis: Raihan Athaya Mustafa

Editor Redaksi Mèrtika

Posting Komentar

0 Komentar