Pendidikan Kota Cirebon dalam Persimpangan

 

Ilustrasi: AI - Oknum tendik culas buat murid cemas

Mèrtika, Cirebon – Kebijakan pendidikan di kota Cirebon tengah memasuki penuh kegamangan. Alih-alih menjadi solusi dari ketimpangan akses, belakangan sejumlah kebijakan justru menciptakan pembedaan antara sekolah negeri dan swasta.

Keputusan Gubernur Jawa Barat Nomor 463.1/Kep.323-Disdik/2025 tentang penambahan jumlah rombongan belajar (rombel) hingga maksimal 50 siswa per kelas di sekolah negeri menjadi salah satu pemicunya. Kebijakan yang mulai diterapkan sejak Juli 2025 ini bertujuan untuk menekan angka putus sekolah. Namun, di lapangan, dampaknya tak sesederhana itu. Sekolah negeri yang tidak memungut biaya serta memiliki fasilitas lengkap semakin dipadati  peminat. Sementara itu, sekolah swasta justru mengalami penurunan drastis jumlah peserta didik baru.

Contohnya SMK Nahdlatul Ulama Kota Cirebon dan SMK Budi Arti Kota Cirebon yang mengalami penurunan siswa baru hingga separuh dari tahun sebelumnya. SMK Nahdlatul Ulama hanya mendapat 6 siswa baru dari tahun sebelumnya 12, sedangkan SMK Budi Arti hanya menerima 33 orang dari tahun sebelumnya 65 siswa. Mirisnya, jumlah ini telah melalui upaya semaksimal mungkin dari pihak sekolah untuk mendatangkan siswa baru.

Ati, Wakil Kepala Sekolah SMK NU Kota Cirebon menjelaskan tidak hanya mengadakan sosialisasi secara langsung. Pihaknya bersusah payah untuk membangun citra di Media Sosial untuk menarik siswa baru.

“Upayanya sih kita tuh selalu memposting ke dalam sosmed,” Ujar Ati.

Kondisi serupa terjadi di SMK Widya Utama. Hingga Juli 2025, sekolah itu baru memperoleh lima siswa baru. Sekolah ini akhirnya menawarkan program kerja sama dengan Lembaga Pelatihan Kerja (LPK) agar lulusan bisa langsung bekerja di Jepang, juga pembelajaran bahasa Jepang.

“Kita punya program yang bikin siswa bisa menghasilkan (uang),” ujar Fadlan, salah satu guru.

Kondisi ini mengundang suara dari banyak pihak. Forum Kepala SMK Kabupaten Cirebon menyatakan kekhawatiran atas potensi ketimpangan yang semakin melebar. Bagi Agus Khamdani, Kepala SMK Patriot sekaligus penggerak guru swasta di Kabupaten Cirebon, situasi ini menciptakan negeri-minded, menimbulkan kesan sekolah negeri yang baik dan swasta adalah kelas dua.

“Ini yg sekarang dirusak oleh politik dan juga oleh sistem,” ujarnya.

 

Sekolah Rakyat dan Mimpi yang Dipercepat

Di tengah kekacauan ini, sebuah harapan kecil tumbuh. Sekolah Rakyat, program berasrama yang digagas oleh Kementerian Sosial (Kemensos), mulai berjalan sejak 14 Juli 2025. Kota Cirebon menjadi salah satu dari 65 wilayah pelaksana. Bertempat di SMPN 18, program ini telah menampung 100 siswa dari jenjang SD dan SMP yang diasramakan untuk mendukung penanggulangan kemiskinan ekstrem.

Dilansir dari About Cirebon pada, 14 Juli 2025, yang membedakan program ini dari sekolah konvensional adalah kurikulumnya. Disebut Kurikulum Multi-entry dan Multi-Exit (MEME), kurikulum ini disusun langsung oleh Kementerian sosial (Kemensos) dan memungkinkan siswa masuk kapan saja tanpa terikat tahun ajaran. Kepala Dinas Pendidikan Kota Cirebon juga memvalidasi terkait kurikulum tersebut.

“Kurikulum Sekolah Rakyat berbeda dengan pendidikan biasa. Ini sepenuhnya dari Kemensos,” ujar Kadini, Kepala Dinas Pendidikan Kota Cirebon.

Namun, tantangan tetap menghadang. Fasilitas yang tersedia masih sangat terbatas. Dari 100 siswa yang diasramakan, hanya tersedia tiga kamar mandi untuk laki-laki dan tiga untuk perempuan. Tidak ada sekat, jaraknya terlalu berdekatan. Tempat tidur dan lemari memang sudah ada, tetapi penataan ruang belum optimal. Kebutuhan konsumsi masih ditangani oleh Dinas Sosial.

Lebih lanjut, pengakuan terhadap kurikulum dan status kelulusan siswa dalam sistem pendidikan nasional masih belum dijelaskan secara rinci. Rekrutmen guru dan kepala sekolah pun melalui proses asesmen dan tengah berlangsung. Kepala sekolah diambil dari kalangan ASN, sementara guru berasal dari P3K.

 

Pendidikan yang (Belum) Merdeka

Kurikulum Merdeka yang digadang-gadang sebagai jawaban atas sistem pendidikan yang kaku ternyata belum menemukan ruang yang layak di Kota Cirebon. Sejak diperkenalkan beberapa tahun lalu, kurikulum ini belum diterapkan secara menyeluruh.

Menurut Agus Khamdani, tantangan terbesar ada di sekolah vokasional seperti SMK. Kurikulum menargetkan capaian di level kemampuan berpikir tingkat tinggi. Siswa diharapkan bisa mencapai level C5 dan C6 (cognitive) dalam taksonomi Bloom. Namun kenyataannya, mayoritas siswa SMK masih berada di kemampuan dasar.

“Kalau satu kelas ada dua puluh persen siswa yang bisa mencapai level menengah saja, itu sudah bagus,” ujarnya.

Padahal sekolah sudah dituntut mengadopsi sistem pembelajaran mendalam yang sadar, bermakna, dan tahan lama. Banyak guru belum mendapatkan pelatihan dasar untuk metode ini. Sarana prasarana pun belum memadai di banyak sekolah.

Kurikulum yang ideal tanpa dukungan nyata hanya akan menjadi beban tambahan. Harapan untuk mencetak siswa mandiri justru berbenturan dengan kenyataan tidak siapan struktur pendidikan daerah. Kurikulum Merdeka akhirnya menjadi slogan yang belum semua sekolah bisa jalankan.

 

Penyelewengan dan Komersialisasi yang Merusak Kepercayaan

Di sisi lain, bayang-bayang penyimpangan menghantui wajah pendidikan negeri. Dilansir dari Antara, Rabu 23 Juli 2025, Kejaksaan Negeri Kota Cirebon baru-baru ini menetapkan empat tersangka dalam kasus dugaan penyelewengan dana Program Indonesia Pintar (PIP) di SMAN 7 Kota Cirebon. Mereka terdiri atas kepala sekolah, wakil kepala sekolah, dan dua staf. Status perkara ini dinaikkan ke tahap penyidikan pada 11 April 2025, dan keempat tersangka resmi ditahan pada 22 Juli.

Sebanyak 500 siswa penerima bantuan diduga mengalami pemotongan dana sebesar Rp200.000 dari total hak mereka, yaitu Rp1,8 juta per orang. Kejaksaan menyita uang tunai Rp368 juta yang diduga berasal dari praktik pungutan liar. Kasus ini menjadi perhatian publik setelah viral di media sosial.

Langkah cepat diambil pemerintah daerah setelah kasus ini mencuat. Kantor Cabang Dinas Wilayah X menonaktifkan sejumlah pegawai yang terlibat, sementara Sekretaris Daerah Jawa Barat menegaskan akan memberi sanksi kepada aparatur sipil negara yang terbukti bersalah. Komisi Perlindungan Anak Indonesia juga turun tangan setelah menerima laporan dugaan intimidasi terhadap siswa yang menjadi korban pemotongan dana.

Dana PIP merupakan program bantuan dari pemerintah pusat bagi siswa kurang mampu. Praktik pemotongan dana ini menyoroti lemahnya pengawasan dan tata kelola keuangan di lingkungan sekolah. Kasus ini juga menunjukkan adanya penyalahgunaan wewenang oleh pihak yang seharusnya melindungi hak siswa.

Kejaksaan masih melanjutkan penyidikan kasus ini. Pemerintah daerah diminta memperketat pengawasan terhadap penyaluran dana bantuan pendidikan agar praktik serupa tidak kembali terjadi di sekolah negeri.

Komersialisasi pendidikan juga menjadi isu yang mencuat setelah SMPN 5 Kota Cirebon menjadi sorotan karena harga seragam yang dianggap terlalu mahal. Dikutip dari fajar Cirebon, sebuah unggahan di media sosial menyebutkan harga satu paket seragam mencapai Rp2.255.000. Paket tersebut terdiri atas empat stel seragam, satu rompi, kartu perpustakaan, dan kartu OSIS.

Pihak sekolah menyatakan tidak terlibat langsung dalam penetapan harga. Wakil Kepala SMPN 5, Maman Suryaman, mengatakan pengelolaan dilakukan oleh komite dan koperasi sekolah.

“Pengelolaan dan lainnya diselenggarakan oleh komite dan dibantu oleh koperasi sekolah. Angka itu bisa muncul pun, setelah dirapatkan dulu antara komite dan seluruh wali murid. Justru rapat itu kami tidak ikut serta, kami hanya memperkenalkan diri dan menjelaskan program sekolah,” ujarnya.

Ketua Komite Sekolah, Supirman, menyebut seragam yang digunakan memiliki desain khusus yang tidak tersedia di pasaran umum. “Karena sekolah sudah menerapkan pakaian-pakaian yang dipakai untuk di SMP 5 ini. Seragam ini tidak bisa didapatkan di tempat lain. Kami membantu dengan cara mengundang penjahit untuk membuatkan seragam-seragam. Silakan ukur dengan harga yang sudah disepakati bersama,” kata Supirman.

Komite juga menyediakan skema pembayaran secara cicilan. Seragam yang ditawarkan dirancang sesuai standar sekolah dan dijahit oleh penjahit yang diundang khusus oleh komite sekolah.

 

Menutup Luka, Membangun Harapan

Pendidikan seharusnya menjadi jalan keluar dari kemiskinan dan keterbelakangan. Namun di Kota Cirebon, ia seperti berdiri di dua kaki yang pincang. Di satu sisi, ada upaya menghadirkan solusi melalui Sekolah Rakyat. Di sisi lain, kebijakan yang timpang dan penyelewengan justru menciptakan luka baru.

Kini, yang dibutuhkan bukan hanya perbaikan teknis. Tapi pembenahan arah. Pemerintah daerah perlu mengevaluasi kebijakan dengan memperhatikan suara akar rumput. Sekolah swasta bukanlah lawan, tetapi mitra dalam mencerdaskan bangsa. Sementara itu, sistem pengawasan dan pengelolaan dana pendidikan harus ditingkatkan secara menyeluruh dan transparan.

Tanpa langkah nyata, mimpi tentang pendidikan yang setara, adil, dan manusiawi hanya akan menjadi catatan kaki dalam sejarah. Kota ini butuh lebih dari sekadar program. Ia butuh keberanian untuk berubah.

 

 

Reporter: Raihan Athaya Mustafa

Penulis: Ikhsan Tiaz Setiawan

Editor: Redaksi Mertika

Posting Komentar

0 Komentar