Lapangan Bubat: Koloseum Ala Jawa

 

Ilustrasi Perang Bubat - Sumber: Perpustakaan Tanah Impian


Mèrtika, Artikel – Jika mendengar nama Bubat dalam konteks sejarah Indonesia, biasanya asosiasi yang muncul bukanlah hal yang baik. Secara pengetahuan umum, Bubat adalah tempat rombongan Kerajaan Sunda terlibat Konflik dengan Pasukan Majapahit. Peristiwa itu terjadi ketika Putri Dyah Ayu Pitaloka menerima pinangan Raja Majapahit Hayam Wuruk, namun akhirnya justru berujung pada tragedi. Bunuh diri Hayam Wuruk inilah yang pada akhirnya menjadi kisah tutur di masyarakat akan adanya larangan menikah antara Wanita Sunda dan Pria Jawa.

Namun, sesungguhnya Bubat memiliki kisah yang jauh lebih kaya daripada sekadar tragedi perang. Ia bukan hanya hamparan tanah yang menjadi saksi bisu pertumpahan darah, melainkan sebuah kompleks fasilitas kota yang pada masanya menjadi pusat prosesi adat, keagamaan, kenegaraan, sekaligus arena hiburan rakyat. Salah satunya adalah pertandingan tahunan yang melibatkan para pangeran, pejabat, dan bangsawan, selalu digelar setelah upacara keagamaan dan kenegaraan di istana kotaraja.

Ini biasa dijadikan pertunjukan dan hiburan untuk semua (vharga dhesas), Atau masyrakat umum itu biasa menyebut Perayaan Bulan Caitra. Banyak orang turut berdatangan. Bukan hanya dari seluruh Penjuru Jawa, tetapi juga hingga ke negeri-negeri Vasal yang jauh di seberang lautan.

Sumber sejarah dan catatan yang tersisa yang dapat dibaca sampai saat ini adalah potongan dari naskah Negarakertagama yang diabadikan oleh Universitas Hamburg, Jerman.

Mengejutkan bukan, bahwa bangsa asing yang jauh diseberang benua, ternyata sangat peduli dengan catatan leluhur kita, mereka mengabadikanya dan menyediakan akses publiknya?

Dalam bagian Canto 83–91 misalnya, dijelaskan tentang festival tahunan kerajaan atau The Annual Court Festival in Majapahit. Naskah ini menggambarkan betapa besar pengaruh dan kemakmuran Majapahit yang berpusat di Jawa Timur. Bahkan, nama Jawa disebut sejajar dengan Jambudwipa (India), menandakan kedudukan pentingnya di dunia.

Diceritakan bahwa Sang Maha-Raja (Raja Majapahit) adalah yang memberikan kebahagiaan ke segala penjuru. Dikatakan bahwa kemakmuran itu dimulai dari Yawa-dwipa (Pulau Jawa) yang karena kesuciannya dan dikenal di penjuru Dunia. Kesucian yang dimaksud dalam hal itu adalah keluhuran adat dan kemajuan budaya yang tercermin dari karakter dan kemampuan masyarakatnya. Dalam teks juga dikatakan bahwa hanya Jambudwipa (India) yang selalu dibicarakan bersanding dengan Jawa karena keberhasilannya sebagai negara (deshas) yang baik. 

Banyak orang orang terhormat karena kecendikiawanannya seperti Dhyaksa (Hakim) upapatitis (pegawai hukum) dwijas (Pendeta) dan Kawi (Sastrawan) yang ahli dalam tarka (hipotesa) dalam wawasannya, juga ahli dalam sangkhya (bilangan) dan naiyayika (logika).

Hal ini menggambarkan bagaimana leluhur atau moyang kita dahulu, yang selalu kita anggap klenik, mistik dan menyembah ruh. Pada faktanya mereka adalah masyarakat cerdas yang sudah mengenal konsep meritokratik dalam pemerintahannya dan bahkan juga terkenal akan teknologi perkapalannya.

Kebesaran dan Kemakmuran Negeri Nusantara, (Swarnadwipa) yang pada saat itu dipimpin oleh Majapahit di Jawa Timur sebagai pusat Mandala, dikatakan adalah alasan mengapa tanpa diperintah, semua bangsa datang dari negara-negara lain dan berbagai macam, yaitu Jambudwipa (India), Kamboja, Cina, Yawana (Annam), juga Champa, Karnataka (di India Selatan), Goda (Gaur), dan Syangka (Siam). Dari tempat asal mereka, berlayar di kapal untuk bergabung dengan pedagangan ramai adalah sebuah pilihan.

Bhiksu (Buddha) dan wipra (brahma) adalah adalah golongan utama yang ikut hadir. Saat kedatangannya, mereka sambut dan dijamu dengan baik sehingga mereka senang.

 

Ritual Tahunan Raja

Setiap tahun, pada bulan Phalguna (Februari–Maret), Maharaja Majapahit menyelenggarakan festival besar di istana. Upacara ini menjadi simbol komunikasi politik sekaligus spiritual, serta sarana mempererat ikatan dengan seluruh wilayah mandala Majapahit.

Dalam upacara paripuja, hadir para mantri (pejabat), upapatitis (pegawai hukum), dhyaksa (hakim), serta juru kuwu (tuan tanah) dari berbagai daerah. Bangsawan dari Jawa, Bali, hingga pulau-pulau lain turut serta, membawa prabherti (upeti) sebagai bentuk pengakuan.

Urutan pemujaan dilakukan mengelilingi bhrisadis (paviliun persembahan), diiringi tabuhan merdanggas (genderang upacara). Altar-altar itu dipenuhi niwedya (persembahan hasil bumi), yang jumlahnya terus bertambah karena antusiasme masyarakat. Upacara juga dilaksanakan di wanguntur (taman utama), melibatkan ritual homa (api suci) dan brahmayajna (persembahan spiritual) oleh pemuka Shaiva dan Buddha.

Pada hari ke-14, para bangsawan diperkenalkan kepada publik dengan arak-arakan meriah. Mereka tampil dengan busana negara berhiaskan emas, diiringi musik padaha (drum kerucut), tarayan (terompet lurus), serta nyanyian para bhatta. Nama-nama besar seperti bangsawan Pajang, Lasem, dan Kediri hadir dengan permaisuri atau pengiring istana.

Keesokan harinya, digelar upacara astrangeni, yaitu konsekrasi benda-benda tertentu menjadi sakral melalui pemberkatan air suci (amerta) oleh seorang wipra (brahmana)

Selanjutnya, pada bulan Caitra (Maret–April), para pejabat kerajaan dan bangsawan Majapahit melaksanakan sebuah prosesi penting yang disebut Pulung Rahi. Tujuan utama upacara ini adalah meneguhkan kembali etika dan moral para pejabat serta abdi negara agar tidak tergoda melakukan perbuatan tercela, membelot, atau melanggar norma yang berlaku. Dalam prosesi ini, dibacakan pula ajaran dari Raja Kapa-Kapa, yakni warisan nilai dan keteladanan para raja terdahulu sebagai pedoman perilaku.

 

Pertandingan para Bangsawan

Ilustrasi AI

Dua hari setelah prosesi Pulung Rahi, tibalah acara puncak: perayaan di lapangan besar Bubat. Arena ini berjarak sekitar 1,5 kilometer dari istana, berfungsi layaknya koloseum Jawa kuno. Dikelilingi panel-panel batu berukir kisah Mahabharata, lapangan itu menjadi panggung megah bagi kemegahan Majapahit.

Para pangeran dan bangsawan mendirikan tenda, datang dengan tandu berhias singa, siap menunjukkan kemampuan mereka dalam berbagai pertandingan. Yang paling bergengsi adalah kanjar, duel bersenjata tajam yang menguji keterampilan bela diri. Kompetisi ini bukan hanya hiburan, tetapi juga sarana meritokrasi untuk menentukan siapa yang layak memegang peranan penting dalam menjaga negeri.

Selain kanjar, diadakan pula pertandingan tinju dan tarik tambang. Semua itu menjadi simbol persatuan antarbangsawan dari berbagai daerah di bawah panji Majapahit. Melalui Bubat, Majapahit menunjukkan bahwa membangun imperium tidak cukup dengan kekuatan militer saja, tetapi juga dengan pengaruh sosial, budaya, dan pengetahuan. Dengan begitu, kerajaan-kerajaan di luar Jawa tidak melihat Majapahit sebagai penjajah, melainkan sebagai atmadeva, perwujudan luhur yang membawa kedamaian dan kemakmuran.

Sejarah kerap mengingat Bubat hanya sebagai arena tragedi. Namun jika menengok sumber-sumber sezaman, Bubat justru menjadi saksi kemegahan Majapahit. Ia adalah tempat di mana ritual spiritual, tata negara, ilmu pengetahuan, dan kekuatan militer berpadu menjadi satu.

Melalui naskah Negarakertagama, kita melihat bahwa leluhur Nusantara bukan sekadar bangsa yang larut dalam mitos, melainkan masyarakat yang beradab, teratur, dan cerdas. Mereka membangun kebesaran bukan hanya dengan pedang, tetapi juga dengan ilmu, budaya, dan meritokrasi.

Dengan begitu, mengingat Bubat bukanlah semata mengenang luka, melainkan juga merayakan jejak kebanggaan, bahwa Nusantara pernah menjadi pusat peradaban dan kemakmuran dunia

 

 

Penulis: Alfa Julian

Editor: Redaksi Mèrtika

Posting Komentar

0 Komentar