Sefrekuesnsi: Antara Alasan Gaul dan Inferior yang Terselubung

by: AI
Ilustrasi AI: Memperingati Hari Anak Sedunia

 

Mèrtika, Opini - Dalam pergaulan anak muda kekinian, istilah “sefrekuensi” terdengar sangat santer. Ia menjadi semacam tapal batas untuk memilah mana teman yang dianggap cocok dan nyambung, dan mana yang tidak cocok, tidak nyambung. Istilah ini sering dipakai sebagai dalih untuk bersikap selektif dalam memilih teman: “gue nggak sefrekuensi sama dia”, “dia nggak nyambung”, dan semacamnya.

Tapi sependek pengalaman hidup saya, saya bukan penganut mazhab pilih-pilih teman semacam itu. Saya nyaris bisa bergaul dengan siapa saja, dan cukup mudah menyamakan frekuensi dengan orang-orang dari latar belakang yang berbeda-beda. Dan saya rasa, ini bukan karena saya menganut gaya pergaulan populis ala komunisme, atau karena terpengaruh doktrin-doktrin psikologi tertentu.

Saya pikir, kemampuan “nyambung” dengan banyak orang itu lebih karena faktor wawasan dan kebiasaan membaca. Ketika seseorang banyak membaca, bukan hanya membaca buku, tapi juga membaca pengalaman hidup, maka ia cenderung mudah nyambung dengan siapa saja dan dalam obrolan apa saja. Ia punya cukup banyak modal untuk memahami dan menanggapi.

Sebaliknya, kalau seseorang malas membaca (baik membaca dalam arti harfiah maupun dalam arti kiasan: membaca kehidupan), maka ia akan menjadi terbatas. Terbatas dalam wawasan, dalam cakupan tema obrolan, juga dalam relasi sosial. Maka karena itu saya menolak mentah-mentah mitos yang bilang kalau orang yang banyak baca itu cupu dan nggak gaul. Justru menurut saya yang terjadi malah sebaliknya: orang yang jarang membaca dan minim wawasan itulah yang lebih mungkin jadi cupu, nggak menarik, dan nggak bisa nyambung dalam pergaulan.

Dan karena ia merasa inferior secara intelektual dan sosial, akhirnya untuk menutupi rasa rendah diri itu ia melontarkan istilah “nggak sefrekuensi” hanya sebagai tameng untuk menolak berinteraksi dengan orang-orang yang ia anggap tidak selevel. Padahal mungkin justru dirinya yang tidak cukup berkembang untuk nyambung dengan tema atau karakter yang berbeda.


Teori Bisa Banyak, Tapi Intinya Tetap Empati

Teori soal “frekuensi pertemanan” memang tidak ada secara spesifik dalam literatur ilmiah. Tapi kalau mau dibedah, banyak konsep yang berkaitan dengannya. Misalnya dalam kajian psikologi sosial, dikenal frekuensi interaksi, semakin sering kita berinteraksi dengan seseorang, semakin kuat pula ikatan pertemanan itu. Tapi frekuensi saja tidak cukup, ada yang lebih penting: kualitas interaksi.

Interaksi yang sering tapi dangkal bisa bikin bosan. Sebaliknya, interaksi yang jarang tapi bermakna bisa sangat berkesan. Jadi penting ada keseimbangan antara keduanya.

Selain itu, faktor lain yang berpengaruh misalnya: jarak fisik, kesibukan masing-masing, gaya hidup, sampai teknologi. Teknologi bisa membantu kita tetap terhubung, bahkan dengan teman yang jauh sekalipun. Tapi tetap saja, kuncinya bukan sekadar intensitas, melainkan kualitas: seberapa kita hadir sebagai manusia ketika berinteraksi.

Dalam teori komunikasi, dikenal juga istilah seperti teori pertukaran sosial (relasi dibentuk berdasarkan saling memberi dan menerima), teori keterikatan (yang membahas kelekatan emosional), teori kedekatan, sampai teori kesamaan (semakin banyak kesamaan, biasanya relasi lebih erat). Tapi menurut saya semua teori itu tak akan berguna kalau kita tidak punya satu hal mendasar, yakni empati.


Sefrekuensi Itu Bukan Soal Obrolan

Kemampuan untuk mendengarkan, untuk menerima, untuk tidak merasa paling benar. Itu fondasi penting dalam menjalin relasi.

Saya pribadi tidak pernah merasa harus punya hobi atau tema obrolan yang sama dengan teman-teman saya. Misalnya, saya tidak suka sepak bola. Tapi saya juga tidak lantas menganggap teman saya yang suka bola sebagai “nggak sefrekuensi”. Selama obrolan kami masih bisa saling menghormati dan memberi ruang, kenapa tidak?

Yang saya anggap benar-benar tidak sefrekuensi adalah orang-orang yang punya mentalitas toksik: yang senang melihat orang lain susah dan susah melihat orang lain senang. Yang mudah iri, mudah dengki, dan tidak bisa merasa tenang kalau tidak menjatuhkan orang lain. Nah, kalau yang semacam ini, baru saya kategorikan sebagai benar-benar berbeda frekuensi. Pasalnya perbedaan prinsip, bukan sekadar beda selera.

Saya juga sering menjumpai orang-orang yang dianggap “nggak nyambung”, “aneh”, atau bahkan “halu” dalam pergaulan. Tapi bukannya menjauhi, saya justru tertarik mendengarkan mereka. Karena saya sadar, orang yang tampak “halu” itu sering kali bukan karena benar-benar halu, tapi karena mereka tidak pernah mendapatkan ruang untuk didengarkan. Mungkin di rumahnya, suaranya tidak pernah dianggap penting. Mungkin dalam lingkungannya, ia tidak pernah punya kesempatan untuk menyampaikan isi hati.

Dan saya percaya, orang yang tidak pernah diberi ruang untuk didengarkan, kalau terus-menerus diabaikan, lama-lama bisa percaya bahwa dirinya memang tidak layak untuk bicara. Maka dari itu, skill mendengarkan menurut saya bukan sekadar keterampilan sosial, tapi bagian dari kemanusiaan itu sendiri.

Itulah kenapa saya tidak percaya pada tapal batas “sefrekuensi” yang didasarkan hanya pada obrolan atau selera. Buat saya, batas itu mestinya dibangun atas dasar nilai: soal prinsip hidup, soal integritas, soal cara seseorang memperlakukan orang lain. Selama seseorang tidak menyakiti, selama ia punya hati, saya kira saya masih bisa “nyambung” dengannya. Bahkan kalaupun selera musik kami beda, atau kalau obrolannya ngelantur ke mana-mana.

Jadi, mungkin sebaiknya kita berhenti memakai istilah “sefrekuensi” sebagai tameng dari kemalasan kita untuk memahami orang lain. Karena kadang, yang kita butuhkan bukan teman yang satu frekuensi, tapi keberanian untuk menyesuaikan gelombang, agar kita bisa benar-benar mendengar, dan benar-benar hadir, sebagai manusia.



Penulis: Kusmana Hadi Saputra

Editor: Redaksi Mèrtika

Posting Komentar

0 Komentar