Di Bawah Bayang Perda: Potret Kamid S,Ag. (Sarjana Ahli Gorengan)

 

Mang Kamid - Dipotret oleh Raihan, di lapak Jl. Perjuangan (depan UIN SSC) Kota Cirebon

Mèrtika, FeatureTangan cokelat, berurat, mencengkeram erat spatula yang menari di atas penggorengan. Di usia separuh abad, Kamid tetap tegak berdiri di hadapan kompor panas, menenggelamkan adonan ke dalam minyak mendidih. Aroma gorengan menyeruak di udara, menjadi isyarat bahwa dagangan siap disajikan. Sesekali, senyum dan gurauan terlontar dari bibirnya menyapa pelanggan. Ia bukan hanya pedagang, tapi juga penghibur di sela lelah mahasiswa.

Sejak tahun 2000, Kamid mulai menapaki jalan sebagai pedagang kaki lima. Kala itu, gorengan ia pikul dari kontrakan menuju terminal Harjamukti. Setiap hari, ia menggelar lapak sederhana di tengah lalu lintas bus antar kota dan penumpang yang berdesakan. Harapannya sederhana, rezeki yang cukup untuk menyambung hidup.

Namun, jalan pedagang kaki lima tak pernah mudah. Kamid harus menghadapi berbagai rintangan: teguran lisan, surat peringatan, hingga kejar-kejaran dengan petugas ketertiban. Tak hanya itu, perjuangan dimulai sejak dini hari, pukul 02.00 pagi, ketika ia berangkat ke pasar untuk belanja bahan baku. Ia menyiapkan segalanya seorang diri. Dari mencampur adonan, menyiapkan minyak, dan menempuh perjalanan ke lokasi mangkal.


Pindah dan Bertahan: Dari Terminal ke Depan Kampus

Pada tahun pertama, Kamid dan beberapa pedagang lain disapu dari terminal oleh aparat Pamong Praja. Gerobak yang belum memiliki roda ia pikul menyusuri sudut-sudut ramai Kota Cirebon. Ia tak menyerah meski tempat berdagang silih berganti. Baru pada tahun 2002, Kamid menemukan celah baru, di pelataran kampus IAIN Syekh Nurjati Cirebon.

“Dulu cuma bertiga di sini. Sepi lah pokoknya,” ujarnya mengenang. Kala itu, Jalan Perjuangan belum sepadat sekarang. Bersama dua pedagang lainnya, Kamid memutuskan menunggu mahasiswa bubar kuliah. Momentum itu menjadi titik balik. Keramaian mahasiswa menjadi pangsa pasar yang segar.

Kebetulan, kontrakannya di Kandang Perahu tak jauh dari sana. Lokasi ini memberikan kelegaan logistik dan kesempatan stabil. Lambat laun, Kamid beralih dari pikulan ke gerobak. Gerobaknya sederhana, tapi cukup besar untuk membawa lebih banyak dagangan. Ia memarkirnya di depan Gedung Rektorat, seolah rektorat itu menghadap langsung ke teduh gorengan gorengan Kamid.


Lebih dari Berdagang: Kamid dan Dinamika Kampus

Lapak Kamid bukan sekadar tempat jual-beli. Di sana, ia menjelma menjadi bagian dari denyut kehidupan kampus. Mahasiswa datang tidak hanya untuk membeli gorengan, tapi juga curhat, berdiskusi, bahkan berdebat soal politik kampus. Kamid menjadi pendengar setia, bahkan teman diskusi yang aktif.

Pada tahun 2006, Kamid tak lagi sekadar pedagang. Ia diajak mengikuti kegiatan organisasi mahasiswa. Ia hadir di Mapaba (Masa Penerimaan Anggota Baru), pelatihan kader dasar, hingga pelatihan kader lanjutan di Bogor. Ia juga masuk dalam Madrasah Kader Nahdlatul Ulama. Bagi Kamid, ini bukan bentuk naik kasta, melainkan peluang memperluas jejaring dan wawasan.

Meski terlibat organisasi, Kamid tetap memilih jalannya sendiri. Tidak masuk dalam struktur pergerakan maupun politik kampus. Sebutlah dirinya sebagai ‘teman pagar kampus’. Dekat tapi tidak melebur, akrab namun tetap menjaga jarak.


Ketika Perda Mengetuk Pintu Lapak

Namun kenyamanan itu tak abadi. Pada tahun 2021, bayang-bayang penertiban kembali menghantui. Kampus hendak menerapkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 2 Tahun 2016 tentang Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat. Salah satu pasalnya melarang aktivitas PKL di ruang publik yang tidak resmi.

Pihak kampus mengarahkan seluruh pedagang, termasuk Kamid, untuk pindah ke foodcourt dalam kampus yang dikelola pihak kampus. Namun syaratnya berat, pedagang harus membayar sewa yang jauh lebih tinggi.

Bagi Kamid dan rekan-rekannya, relokasi itu bukan solusi, melainkan tekanan ekonomi baru. Mereka menolak, dengan alasan bahwa biaya sewa tidak sebanding dengan penghasilan harian mereka. Maka, Kamid bergabung dalam Perkumpulan Pedagang Kaki Lima (PP-PKL), yang didampingi seorang advokat.

Kasus ini berujung pada audiensi resmi. Para pedagang menyampaikan aspirasi, dan akhirnya dimenangkan. Mereka berhak tetap berdagang di Jalan Perjuangan, asal tertib dan menjaga kebersihan. Sejak itu, PP-PKL menjalankan iuran harian Rp3.000 untuk operasional organisasi, serta kegiatan rutin bersih-bersih setiap bulan.


PKL, Kota, dan Wajah Ketimpangan

Kasus Kamid bukan hanya soal lapak gorengan, tapi cermin wajah kota yang belum ramah pada warga kelas bawah. Penertiban yang berlandaskan Perda kerap mengabaikan fakta bahwa PKL adalah denyut ekonomi informal yang menopang kehidupan banyak keluarga. Di sisi lain, institusi pendidikan tinggi yang seharusnya menjadi ruang pembebasan malah menjadi alat untuk menertibkan demi estetika semu.

Kamid menunjukkan bahwa ketangguhan bukan hanya pada keberanian melawan, tapi juga pada kesabaran bertahan. Dari pikulan ke gerobak, dari terminal ke depan rektorat, dari jualan ke organisasi, ia menjalani semuanya dengan kepala tegak.

Cerita Kamid adalah cerita banyak pedagang lain di kota-kota Indonesia. Mereka yang berada di batas legalitas, yang hidup dalam bayang-bayang razia dan penggusuran. Perda seperti No. 2/2016 memang dibentuk atas dasar keteraturan. Tapi keteraturan seperti apa yang dimaksud, jika yang terpinggir justru makin tersingkir?

Di tengah geliat pembangunan dan wajah modernisasi kampus, masih adakah ruang bagi mereka yang sekadar ingin mencari makan? Kamid bukan pengganggu, ia bagian dari ekosistem kampus yang hidup. Sebagaimana mahasiswa yang menimba ilmu, Kamid menimba rezeki di tempat yang sama, dengan perjuangan yang tak kalah berat.

Ia berdagang, tapi juga belajar. Ia menyapa, tapi juga mendengar. Kamid adalah S. Ag, ‘Sarjana Ahli Gorengan' bukan tanpa sebab. Karena dari gerobaknya, mahasiswa banyak pulang dengan cerita, paling tidak mewarnai hari-hari mahasiswa



Penulis: Raihan Athaya Mustafa

Editor: Redaksi Mèrtika

Posting Komentar

0 Komentar