Menjaga Kesadaran 16 HAKTP di Hari Ketujuh: Belajar HIV dan AIDS Bersama Gina Afriani

Dokumentasi Panitia 16 HAKTP 

Mèrtika, Cirebon - Sudah sepekan, rangkaian 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan menjelma menjadi ruang pertemuan, percakapan, dan keseruan. Di palagan kesadaran itu, Ulya Mukarromah dari Paham Perempuan menjembatani sorotan peserta kepada Gina Afriani, merangkai pengetahuan dan pengalaman, seolah membentangkan titian bagi siapa pun yang ingin melintasi jurang ketidaktahuan tentang pencegahan AIDS.

Pusat perhatian kemudian bergeser kepada sosok Gina. Di mata awam, ia mungkin hanya tampak sebagai penakluk puncak, pengembara yang akrab dengan sunyi gunung dan rimba raya. Sejak 2008, ia aktif di Wanadri, organisasi pecinta alam yang dikenal dengan disiplin keras dan standar keselamatan yang tinggi. Ia merupakan satu-satunya atlet perempuan dalam ekspedisi 7 Summits Wanadri dan telah menjejak empat puncak besar dunia: Carstensz Pyramid, Kilimanjaro, Elbrus, dan Aconcagua. Namun prestasi itu tidak membuatnya berhenti belajar atau sekadar merayakan capaian pribadi. Gina terlibat dalam penyusunan program latihan fisik dan modul pendidikan petualangan yang digunakan para peserta ekspedisi.

Sejak 2017, langkahnya berbelok menuju dunia NGO. Ia menggarap program sosial tentang pendidikan, pemberdayaan pemuda, serta kesehatan masyarakat khususnya isu HIV, TBC, dan narkotika. Ia pernah mengikuti pelatihan Photo Story yang diselenggarakan UNAIDS dan Kelas Pagi Jakarta, melatih komunitas, menjadi fasilitator, master ceremony, hingga coach. Perannya semakin menguat ketika ia terlibat dalam Homeless World Cup 2019 di Cardiff, sebuah ajang yang menekankan inklusi, pemulihan, dan keberdayaan. Seluruh perjalanan itu membentuk pemahamannya bahwa isu kesehatan masyarakat bukan sekadar deretan angka, melainkan kisah manusia yang saling terkait satu sama lain.

Memahami HIV dan AIDS dari Situasi Nasional

Ketika sesi dimulai, Gina membuka pembicaraan dengan cara yang sederhana tetapi menohok. Ia mengatakan bahwa berbicara tentang HIV dan AIDS di komunitas ODHIV (Orang dengan HIV AIDS) bukanlah untuk “perayaan”. Menurutnya, perayaan tidak berarti apa-apa dan justru berpotensi melanggengkan stigma.

“Lagi pula, kita buat apa merayakan? Jadi ya, diksi itu penting. Kita di sini berbagi saja,” ujarnya mengawali diskusi.

Gina mengapresiasi kehadiran para peserta di halaman Episode Kopi, yang mayoritas bukan bagian dari populasi kunci. Ia mengingatkan bahwa pembahasan mengenai HIV dan AIDS memang sangat dekat dengan populasi kunci, sehingga memahami konteks kelompok ini penting untuk membangun perspektif yang benar. Di awal, ia juga menegaskan bahwa HIV dan AIDS adalah dua hal yang berbeda. HIV adalah kondisi ketika seseorang terinfeksi virus, sedangkan AIDS adalah tahap ketika infeksi tersebut telah berkembang dan melemahkan sistem kekebalan tubuh.

Masyarakat selama ini kerap menilai ODHIV dari tampilan fisik, apakah seseorang terlihat kurus, pucat, atau tampak sehat. Gina menjelaskan bahwa penilaian seperti itu tidak selalu tepat. Memang, penularan banyak terjadi pada populasi kunci yang memiliki risiko lebih tinggi, seperti pekerja seks dan pengguna narkotika suntik. Namun orang yang melakukan hubungan seksual tidak aman juga memiliki risiko besar. Penjelasan ini membuat sebagian peserta saling menatap, seolah baru memahami betapa luas spektrum risiko yang sebenarnya ada.

Gina kemudian meminta adiknya untuk menjelaskan perbedaan antara virus dan bakteri sebagai dasar pemahaman. Bakteri adalah makhluk hidup yang memiliki daur kehidupan, dapat berkembang biak, dan dapat hidup di berbagai lingkungan. Virus berbeda karena statusnya sebagai makhluk hidup masih menjadi perdebatan. Virus hanya dapat “hidup” ketika berada di dalam sel inang. Bahkan setelah sel inangnya mati, partikel virus tetap dapat bertahan dalam tubuh dan dapat kembali aktif jika menemukan kondisi yang sesuai. Penjelasan ini membuat peserta mengangguk, sementara dari sudut depan kiri tampak seorang peserta mencatat dengan serius di secarik kertas.

Gina kemudian menjelaskan mekanisme penularan HIV menggunakan rumus ESSE. Pertama, Exit, yaitu cairan tubuh yang keluar dan mengandung virus, seperti cairan kelamin, air mani, air susu ibu, dan darah. Ia menegaskan bahwa cairan lain seperti air liur atau droplet ”tidak” menularkan HIV. Kedua, Survive, yaitu kondisi yang memungkinkan virus tetap hidup. HIV hanya dapat bertahan ketika terjadi pertukaran cairan tanpa adanya rongga udara, misalnya saat berhubungan seksual atau memakai jarum suntik bersama. Ketiga, Surveillance, yaitu jumlah cairan yang cukup untuk membuat virus tetap aktif dan dapat menularkan. Keempat, Enter, yaitu masuknya cairan infeksius melalui celah pada tubuh, seperti luka terbuka atau membran mukosa.

Ia menambahkan bahwa perempuan hamil yang hidup dengan HIV “tidak selalu” menularkan virus kepada bayinya. Dengan pengobatan ARV dan layanan kesehatan yang tepat, risiko penularan dapat ditekan hingga sangat rendah. Begitu pula dalam pernikahan seseorang yang hidup dengan HIV dapat memiliki pasangan HIV-negatif tanpa menularkan virus, terutama jika viral load-nya sudah tersupresi.

Gina juga memaparkan data yang cukup mengkhawatirkan. Indonesia saat ini menempati peringkat ke-9 dunia untuk kasus infeksi baru HIV terbanyak, serta peringkat ke-14 untuk jumlah total orang dengan HIV (ODHIV). Berdasarkan data SIHA per 20 Januari 2025, layanan pemeriksaan HIV di Indonesia sepanjang Januari–Desember 2024 telah menjangkau 6.986.402 orang (91%). Jawa Barat menjadi provinsi dengan jumlah pemeriksaan tertinggi, yaitu 1.194.931 orang.

Sebanyak 76% kasus HIV di Indonesia terkonsentrasi di 11 provinsi prioritas: DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatera Utara, Bali, Papua, Papua Tengah, Sulawesi Selatan, Banten, dan Kepulauan Riau.

Pada 2025, jumlah ODHIV di Indonesia diperkirakan mencapai 564 ribu orang. Namun, baru sekitar 63% yang mengetahui status HIV-nya (356.638 orang). Dari jumlah tersebut, 67% (239.819 orang) telah mendapatkan terapi antiretroviral (ARV), dan hanya 55% (132.575 orang) yang mencapai kondisi viral load tersupresi—artinya jumlah virus dalam tubuh sangat rendah hingga tidak terdeteksi, sehingga risiko penularan pun mendekati nol.

Kebijakan Pemerintah dan Tantangan Penanganan

Menurut Gina, dalam banyak isu sosial, kampanye pemerintah sering menggunakan pendekatan yang menakut-nakuti sehingga justru memunculkan bentuk-bentuk diskriminasi baru. Salah satu contoh paling jelas adalah kampanye pemerintah tentang narkotika. Edukasi kesehatan mengenai penyakit menular seksual, khususnya HIV, memang perlu terus digencarkan agar masyarakat memiliki kesadaran untuk melakukan tes HIV tetapi pendekatannya harus berbasis informasi yang benar, bukan ketakutan.

Ia menjelaskan bahwa pekerja seks yang bekerja di hotspot atau lokasi yang relatif tetap justru lebih mudah dijangkau oleh petugas kesehatan. Kondisi ini membuat mereka lebih terlindungi karena dapat menerima edukasi, layanan pencegahan, kondom, tes HIV, serta dukungan lainnya secara rutin. Sebaliknya, pekerja seks yang beroperasi melalui aplikasi atau teknologi umumnya lebih sulit diidentifikasi dan dijangkau, sehingga risiko mereka terhadap berbagai infeksi menular seksual bisa menjadi lebih tinggi akibat rendahnya akses layanan.

Terkait akses tes dan pengobatan, Gina menegaskan bahwa fasilitas kesehatan seperti puskesmas memang menyediakan layanan tes HIV, konseling, serta terapi antiretroviral (ARV) secara gratis sesuai kebijakan nasional Indonesia. Namun, sebelum melakukan tes, penting bagi seseorang untuk memahami informasi dasar tentang HIV, bagaimana penularannya, bagaimana infeksinya bekerja, dan bagaimana pengobatannya. Pemahaman ini dapat membantu proses penerimaan diri jika hasil tes nantinya menunjukkan status positif, serta mencegah ketakutan atau stigma yang tidak perlu.

Stigma yang Lebih Berbahaya dari Virus

Topik tentang stigma membuat suasana ruangan sejenak menjadi hening. Gina menjelaskan bahwa HIV bukanlah penyakit yang “cepat membunuh”; yang justru membunuh adalah stigma dan diskriminasi yang dialami pengidap HIV. Banyak orang dengan HIV yang akhirnya menarik diri, dikucilkan keluarga, atau diasingkan oleh lingkungan—bukan karena kondisi medisnya, tetapi karena perlakuan sosial yang mereka terima.

Pengalamannya selama bekerja di Rumah Cemara menunjukkan bahwa diskriminasi dapat muncul bahkan dari tenaga kesehatan. Pendidikan tinggi tidak otomatis menjamin pemahaman yang benar tentang HIV. Padahal, mayoritas ODHIV saat ini berada pada usia produktif 20–49 tahun, dan dengan pengobatan teratur mereka dapat hidup sehat dan tetap aktif. Gina berulang kali menegaskan bahwa sikap yang benar adalah menjauhi virusnya, bukan orangnya.

Ia juga menyoroti keberadaan rumah singgah yang, menurutnya, justru berpotensi memperkuat stigma karena memisahkan pengidap dari masyarakat umum. Dalam penjelasannya, Gina membedakan dua kategori status, yaitu open status dan close status. Open status berarti seseorang menyampaikan status HIV-nya secara terbuka kepada publik, sementara close status berarti status tersebut hanya dibagikan kepada orang-orang tertentu. Penyebaran close status tanpa persetujuan adalah pelanggaran privasi yang dapat menimbulkan konsekuensi hukum.

Menjelang penutupan, Gina menyampaikan kembali prinsip pencegahan HIV yang dikenal dengan ABCDE: abstinence, yaitu menunda hubungan seksual berisiko; be faithful, setia pada satu pasangan yang saling mengetahui status; condom, menggunakan kondom dengan benar dan konsisten; don’t use drugs, terutama tidak memakai jarum suntik secara bergantian; serta education, memastikan informasi yang diterima benar dan berbasis bukti.

Ia menutup sesi dengan pesan yang menghangatkan suasana: tidak perlu takut hidup berdampingan dengan orang yang hidup dengan HIV. HIV tidak membunuh; stigma dan diskriminasilah yang mematikan. Virusnya yang harus dijauhi, bukan orangnya. Ia mengingatkan bahwa mengetahui status HIV lebih awal selalu lebih baik, karena semakin cepat seseorang mengetahui statusnya, semakin besar peluangnya untuk tetap sehat. Karena itu, jangan ragu dan jangan menunda untuk melakukan tes HIV di layanan kesehatan.

Sesi ditutup dengan penyerahan cenderamata karya Emik Dalang Sungkrah, sebuah karya yang dibuat dari sampah daur ulang. Malam itu, Episode Kopi bukan hanya menjadi ruang belajar, tetapi juga ruang untuk menyalakan keberanian, merawat empati, dan mengikis stigma sedikit demi sedikit.


Penulis: Raihan Athaya Mustafa

Tulisan ini telah ditinjau dan disunting oleh Narasumber, Gina Afriani


Posting Komentar

0 Komentar