Lembah kecil di pinggir kota Cirebon, terdapat kampung yang namanya kerap disebut dengan nada kurang mengasyikan, Kopi Luhur. Orang luar mengenalnya bukan karena kebun atau hasil bumi, melainkan karena tumpukan sampah yang tumbuh lebih cepat daripada doa. Setiap pagi, udara di sana mengandung kenangan yang busuk, bau yang tak pernah mati bahkan setelah hujan turun.
Di kampung itu tinggal seorang gadis bernama Nisa, putri dari keluarga sederhana. Ia lahir bukan dari kemewahan, melainkan dari kesabaran yang menua bersama kabut sampah. Rumahnya berdiri di tepi gundukan, berdinding papan yang mulai retak, beratap seng yang menyimpan nyanyian hujan. Namun dari jendela kecil itu, Nisa masih bisa melihat matahari, walau cahayanya sering terhalang asap dan lalat.
Ayahnya, Pak Merdi, dulunya seorang buruh di pabrik gula, tapi setelah pabrik itu gulung tikar, ia hanya menjadi penjaga lahan kosong di sekitar TPA. Sementara ibunya, Bu Rasti, sesekali membantu memilah plastik bekas untuk dijual. Mereka hidup dari sisa yang dibuang orang lain, dan anehnya, mereka tetap tertawa setiap kali matahari muncul.
Nisa berbeda. Ia punya pandangan yang jauh. Matanya menyimpan cahaya lembut yang tidak serasi dengan langit Kopi Luhur. Di antara bau busuk, ia selalu membawa harum bunga melati yang tumbuh di pot tua di depan rumahnya. “Bunga tetap bisa hidup di mana saja, asal disiram kasih,” begitu katanya setiap kali tetangga menertawakan kebiasaannya menanam bunga di tanah hitam bekas limbah.
Hingga suatu sore, datang seorang pemuda dari Palembang bernama Jaka. Ia datang bersama tim sukarelawan lingkungan yang hendak melakukan penelitian di sekitar TPA. Saat pertama kali bertemu Nisa, ia tertegun bukan karena parasnya yang cantik—karena kecantikan di tempat itu bukan soal wajah—melainkan karena cara Nisa memandang langit. Penuh rindu, penuh harap, seolah ia melihat surga di balik asap busuk yang menutupi sore.
Hari-hari berikutnya mereka sering berbicara. Tentang gunung, tentang laut, tentang kehidupan di luar bau ini. Nisa mendengarkan dengan mata berbinar, seolah kata-kata Jaka adalah jendela yang dibuka ke dunia yang belum pernah ia kunjungi. Dalam diam, keduanya saling jatuh cinta—bukan karena janji, melainkan karena pengertian yang tumbuh dari simpati.
Ketika Jaka memutuskan hendak melamar Nisa, kabar itu tersebar cepat ke seluruh kampung. Warga senang, seolah bau sampah seketika hilang diganti harum kebahagiaan. Namun bagi sebagian orang di luar sana, kabar itu terdengar aneh.
“Anak Palembang menikah dengan perempuan kampung sampah?” begitu bisik orang-orang dengan nada merendahkan.
Pak Merdi awalnya gembira. Ia merasa hidupnya akan berubah.
“Akhirnya ada orang kota yang menghargai anakku,” katanya dengan mata berkaca.
Tapi semakin dekat hari lamaran, hatinya mulai gelisah. Ia sadar, rumahnya berdiri terlalu dekat dengan tumpukan busuk yang menua. Bau itu bukan hanya menempel di udara, tapi juga di pandangan orang.
Hari lamaran pun tiba. Nisa memakai kebaya putih sederhana—ia tampak seperti cahaya yang tersesat di tempat yang salah. Tapi ketika mobil keluarga Jaka berhenti di depan rumah, langit tiba-tiba muram. Angin membawa bau yang lebih tajam dari biasanya, seperti bumi sengaja menguji cinta yang datang dari jauh.
Rombongan Jaka turun dari mobil dengan wajah menahan napas. Ibu Jaka menatap sekeliling, menutup hidung dengan sapu tangan sutra. “Di sinikah rumahnya?” tanyanya dengan nada yang menusuk halus. Nisa menunduk, menjawab pelan, “Iya, Bu. Maaf, mungkin sedikit bau...”
“Sedikit?” Ibu Jaka tertawa kecil, getir.
“Kau tinggal di antara gunung sampah, Nak. Bagaimana anakku bisa membangun masa depan di sini?”
Jaka menatap ibunya, berusaha menahan perasaan. “Bu, jangan begitu…”
Namun ucapannya lenyap di antara suara lalat dan raungan mesin truk yang datang menimbun sampah baru. Lamaran itu berakhir sebelum sempat dimulai. Mobil mereka pergi, meninggalkan debu dan rasa malu yang tak bisa dicuci hujan.
Malam itu, Nisa duduk di tangga, menatap tanah. Pak Merdi hanya diam di ruang tengah, menatap surat tanah yang sudah lama ingin ia jual. “Tak ada yang mau beli tanah di neraka,” gumamnya lirih. Bu Rasti menangis tanpa suara, sementara bau dari TPA terus menelusup ke dinding rumah, seolah menertawakan mereka.
***
Setelah hari lamaran yang gagal itu, rumah Nisa seperti kehilangan warna.
Semuanya diam, bahkan angin seolah enggan lewat di halaman rumah mereka. Bau dari TPA tak lagi sekadar menyengat hidung, tapi kini terasa menusuk ke hati, seperti penghinaan yang tak selesai diucapkan.
Bu Rasti berhenti menjemur pakaian di depan rumah karena malu. “Biar orang-orang nggak lihat kita,” katanya pelan, seolah pandangan mata tetangga lebih berat dari sampah di luar sana.
Pak Merdi tak banyak bicara. Sejak rombongan keluarga Jaka pergi, ia lebih sering duduk di kursi bambu menghadap jendela, menatap bukit sampah yang perlahan menjulang seperti nisan raksasa bagi harga diri mereka.
Kadang malam-malam, ia berbicara sendiri,
“Sudah kubilang, jangan jatuh cinta sama orang kota... dunia mereka terlalu tinggi untuk dicapai orang kayak kita.” Nisa mendengar dari balik tirai, menahan air mata. Ia tahu ayahnya tidak bermaksud kejam. Tapi kalimat itu seperti pisau yang digoreskan pelan di dalam dada.
Setiap pagi, Nisa tetap menyapu halaman, menyiram bunga melati yang kini layu satu-satu.
Ia mencoba hidup seperti biasa, tapi dunia di sekitarnya tak lagi sama. Anak-anak tetangga mulai berbisik kalau “Nisa ditolak karena bau.”Orang-orang dewasa membicarakan keluarganya di warung kopi. Dan setiap kali Nisa lewat, mereka berhenti bicara. Hening itu lebih memalukan daripada ejekan.
Suatu sore, Pak Merdi membawa selembar map lusuh. Di dalamnya ada sertifikat tanah mereka.
“Tanah ini nggak ada gunanya kalau cuma buat nahan malu,” katanya lirih.
“Kita jual aja, Nis. Mungkin bisa beli rumah kecil di luar sini.”
“Tapi siapa yang mau beli, Pak?”
Pak Merdi menatap jauh, ke arah truk-truk yang datang membawa bau busuk dari dunia luar. “Entahlah. Tapi setidaknya kita berusaha.”
Ia pergi ke kelurahan, ke kantor kecamatan, ke pasar — menanyakan harga tanah, menunjukkan dokumen. Tapi semua orang hanya menggeleng.
“Itu tanah di tepi TPA, Pak. Udah tercemar. Siapa yang mau?”
Sampai akhirnya ia pulang dengan wajah pucat, membawa selembar kertas yang sobek di pinggirnya. Surat itu dikembalikan tanpa harga.
Nisa menatap ayahnya malam itu. Tangannya menggenggam tangan sang ayah yang gemetar. “Pak, jangan dijual. Ini satu-satunya tanah yang kita punya. Kalau pun bau, setidaknya di sinilah aku lahir.”
Pak Merdi menatap anaknya lama, mata tuanya basah. “Kau masih muda, Nisa. Dunia ini luas. Jangan tanam dirimu di tanah busuk ini.”
Nisa menjawab pelan, “Kalau semua pergi dari tanah busuk, siapa yang akan menyembuhkannya, Pak?”
Kalimat itu membuat ruang kecil mereka hening. Hanya suara jangkrik dan bau plastik terbakar yang mengisi malam. Sejak saat itu, Nisa memutuskan untuk bertahan. Ia kembali membantu ibunya memilah sampah plastik, menjualnya ke pengepul, dan menanam bunga baru di pot tua. Ia bekerja tanpa banyak bicara, tapi setiap gerakannya menyimpan tekad yang tak bisa dijelaskan.
Namun luka di hati tetap tumbuh. Setiap kali melihat langit sore, ia teringat wajah Jaka — bukan karena cinta yang belum padam, tapi karena rasa kehilangan yang tak punya bentuk.
Ia sering menulis di buku catatannya:
“Cinta bukan hanya soal bersama, tapi juga soal bertahan ketika dunia menertawakanmu.”
Suatu hari, seorang tetangga datang membawa kabar: “Katanya Jaka mau tunangan, Nis. Sama orang Palembang juga.”
Nisa hanya tersenyum.“Baguslah,” katanya.
Tapi setelah tetangga itu pergi, ia duduk di teras sendirian. Pandangannya kosong, hatinya seperti tanah kering yang menolak ditanami apa pun.
Malam itu hujan turun deras. Air mengalir dari bukit sampah, membawa sisa-sisa plastik, kain, dan busuk yang lama terkubur. Rumah-rumah di tepi aliran itu kebanjiran. Nisa dan ibunya berlari mengangkat barang-barang seadanya8, sementara Pak Merdi menahan pintu agar tak jebol.
Bau yang datang malam itu bukan sekadar bau, tapi seperti amarah bumi yang sudah terlalu lama ditahan.
Ketika hujan reda, halaman rumah mereka berubah jadi kubangan hitam. Bunga melati di pot tua tercabut dari tanahnya, terapung di air busuk, hanyut pelan ke arah parit.
Nisa menatapnya lama.
“Bahkan bunga pun menyerah,” katanya lirih.
Namun esok paginya, ketika matahari muncul di balik asap, ia turun ke parit itu, mencari potnya. Ia temukan, retak di sisi, tapi masih utuh. Ia bersihkan, menanam kembali batang melati yang tersisa.
“Kalau bunga bisa tumbuh lagi,” katanya pada ibunya,
“berarti kita juga bisa.”
Bu Rasti menatap anaknya lama, lalu memeluknya. Untuk pertama kali setelah lamaran itu gagal, mereka berdua menangis — bukan karena sedih, tapi karena menyadari bahwa bertahan pun adalah bentuk keberanian.
Hari-hari berikutnya berjalan pelan, seperti waktu sedang malas melangkah di Kopi Luhur.
Langit selalu kelabu, dan udara makin berat oleh tumpukan sampah yang terus meninggi.
Truk-truk datang dan pergi seperti detak jantung kota yang tak peduli pada denyut kecil kampung itu. Tapi di antara bau busuk, masih ada suara kehidupan — tawa anak-anak, gesekan sendok di dapur, dan kadang, nyanyian lirih Nisa di pagi hari.
Namun, sesuatu berubah ketika musim hujan datang lebih cepat tahun itu.
Hujan turun berhari-hari tanpa jeda, menciptakan sungai-sungai kecil yang meluap dari bukit sampah. Air membawa lumpur, sisa plastik, dan cairan hitam yang menembus tanah-tanah rumah.
Orang-orang mulai panik, tapi pemerintah terlambat menoleh. Bagi mereka, kampung di bawah langit busuk itu hanya titik kecil di peta.
Suatu malam, bau menyengat yang tak biasa menyelinap ke rumah-rumah.
Angin berubah arah, membawa desisan seperti napas raksasa dari puncak bukit sampah.
Anjing-anjing menyalak, ayam berlarian dari kandang, dan langit bergemuruh panjang.
Nisa terbangun, mendengar suara gemeretak di kejauhan — bukan suara petir, tapi seperti bumi sedang patah.
“Bu! Pak!” serunya dari kamar.
Belum sempat mereka beranjak, terdengar ledakan pelan — lalu suara menggelegar panjang, seperti gunung runtuh. Dinding rumah bergetar. Dari jendela, Nisa melihat kegelapan besar bergerak turun dari arah TPA. Longsoran sampah. Bumi seakan muntah menumpahkan semua yang pernah ditelan manusia.
Mereka berlari. Suara jeritan bercampur debu dan bau busuk yang tak bisa dijelaskan.
Orang-orang menyeret anak-anak, menabrak pagar, melompat ke parit. Tapi longsor itu terlalu cepat. Nisa sempat memegang tangan ibunya, tapi genggaman itu terlepas saat arus lumpur dan plastik menghantam dada mereka.Ia terlempar ke tanah, menabrak batang pohon, dan segalanya berubah gelap.
Ketika Nisa sadar, dunia sudah hancur. Langit masih gelap, tapi hujan berhenti. Ia merangkak di antara lumpur, mencari suara ibunya.
“Bu... Pak...” panggilnya serak.
Yang menjawab hanya dengus angin dan tangisan samar dari arah reruntuhan. Ia menemukan selendang ibunya, tapi bukan tubuhnya.Tangannya gemetar. Sisa-sisa rumah mereka terkubur — bersama pot melati yang dulu ia tanam dengan penuh harap.
Hari itu, Kopi Luhur berubah menjadi kuburan raksasa. Belasan orang hilang, puluhan luka, dan ratusan kehilangan rumah. Media datang, memotret, mewawancarai, lalu pergi.Truk-truk berhenti sementara. Tapi bau itu tak pernah pergi. Bau yang kini bercampur dengan kesedihan manusia.
Beberapa hari kemudian, relawan datang membawa logistik. Di antara mereka, ada wajah yang membuat langkah Nisa terhenti. Jaka. Dengan rompi oranye dan wajah yang tak seceria dulu.
Ia menatap Nisa lama, seperti tak percaya gadis itu masih hidup.
“Nisa…” suaranya pelan, nyaris tenggelam di antara suara orang-orang.
Nisa menunduk. Ada begitu banyak kalimat yang ingin ia ucapkan, tapi tak satu pun keluar.Yang keluar hanya air mata.Mereka berdiri di antara reruntuhan, di bawah langit busuk yang sama —langit yang dulu menjadi saksi cinta mereka, kini menjadi saksi kehancuran segalanya.
Jaka akhirnya bicara, “Maaf… aku pengecut waktu itu.”
Nisa menggeleng. “Kau cuma manusia, Jak. Dan manusia sering kalah oleh dunia.”
Ia menatap jauh, ke arah bukit yang kini rata.
“Lihatlah, dunia pun akhirnya kalah oleh sampahnya sendiri.”
Mereka berdua membantu relawan menggali sisa rumah. Dari bawah tumpukan plastik, Nisa menemukan pot melati tua itu lagi — retak di sisi, tapi di dalamnya tumbuh tunas kecil hijau muda. Ia menatapnya lama, lalu tersenyum lemah.
“Dia masih hidup,” katanya.
Jaka menunduk, suaranya bergetar, “Seperti kamu.”
Hari-hari berikutnya, Nisa memilih tinggal di tenda pengungsian. Ia membantu memasak, mencatat nama korban, mengajari anak-anak membaca.Ia tak lagi menangis. Ia hanya bekerja, dengan mata yang tenang tapi jauh.Bau sampah masih ada, tapi kini baginya itu bukan lagi bau kehinaan. Itu bau kehidupan — kehidupan yang keras, tapi nyata.
Suatu pagi, matahari muncul di balik awan kelabu.Langit tampak sedikit lebih cerah.
Nisa berdiri di tepi bukit baru, menatap ke bawah.Di sana, kampungnya yang hilang perlahan membentuk wujud baru: tenda-tenda biru, suara orang bercakap, aroma teh hangat dari dapur darurat. Ia berbisik lirih, seolah kepada bumi:
“Kami masih di sini. Walau langit busuk menatap kami,kami tetap bernapas.”
Dan di kejauhan, pot melati tua itu berdiri di atas meja kayu darurat, berbunga satu — putih, kecil, tapi berani menantang bau dunia.
TAMAT
Penulis: Fitria Pratnasari
Editor: Redaksi Mèrtika

0 Komentar