Mèrtika, Cirebon – Suara desakan kembali
terdengar dari warga Kelurahan Argasunya, Kecamatan Harjamukti, Kota Cirebon pada pertengahan bulan Juli 2025.
Kali ini datang dari RW 7 dan RW 4, dua kawasan yang berbatasan langsung dengan
Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Kopi Luhur. Mereka menuntut Pemerintah Kota
Cirebon dan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) untuk segera bertindak menangani
persoalan pencemaran lingkungan yang semakin hari kian memprihatinkan.
Masalah ini bukanlah isu baru. Puluhan tahun
sudah warga hidup berdampingan dengan bau busuk, pencemaran air, dan ancaman
penyakit. Namun hingga kini, mereka merasa belum melihat langkah serius dan
tuntas dari pihak berwenang untuk menyelesaikan akar persoalan.
Warisan Lingkungan yang Memburuk dari Masa Ke
Masa
Rosman, Ketua RW 7, menjadi saksi hidup dari
bagaimana lingkungan sekitar TPA Kopi Luhur berubah drastis selama beberapa
dekade. Dalam obrolan santainya di halaman rumah yang hanya berjarak beberapa
puluh meter dari tumpukan sampah TPA, ia mengenang masa kecilnya di tahun 1975.
“Dulu waktu kecil tahun 75, kalau ikut bapak ke
sawah, makan tinggal gelar di tanah, haus tinggal nimba air di sumur. Sekarang
mah orang lebih nyaman pakai galon,” ujar Rosman.
Ia bercerita, pencemaran lingkungan yang
dirasakan warga tidak terjadi dalam semalam. Dahulu, saluran air di sekitar TPA
masih bisa digunakan untuk mengairi sawah, bahkan untuk kebutuhan harian warga.
Namun sejak TPA diperluas dan limbah mengalir tak terkendali, kualitas air
terus menurun.
DLH sempat melakukan upaya
penutupan saluran air lindi untuk mencegah pencemaran. Penutupan itu dilakukan dengan
cara mengurug saluran menggunakan tanah. Tapi langkah itu justru menimbulkan
masalah baru. Genangan air limbah yang terbentuk menjadi kolam berisi cairan
hitam pekat, penuh dengan sisa-sisa sampah dan menciptakan aroma menyengat.
Awalnya, warga mengira genangan itu hanya
sementara. Tapi tahun demi tahun berlalu, masalahnya justru membesar. Air
limbah mulai mengalir ke rumah-rumah warga melalui sungai yang melintas di RT 1/RW 7 dan RT 5 /RW 5.
Konsolidasi Upaya Pengelolaan
Melihat kondisi yang kian memburuk, warga tak
tinggal diam. Dalam beberapa bulan terakhir, Kelurahan Argasunya mulai
menggencarkan konsolidasi bersama forum RW dan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat
(LPM). Pertemuan antar ketua RW semakin rutin dilakukan, membahas dampak
pencemaran serta jalan keluar yang mungkin ditempuh.
Salah satu usulan yang muncul dari warga
adalah pembuatan sumur bor. Sumur itu diharapkan bisa menjadi sumber air bersih
alternatif, setidaknya untuk keperluan mandi dan mencuci. Menurut Rosman,
proposal untuk usulan tersebut sudah diajukan oleh DLH ke pemerintah kota.
Meski belum mengetahui perkembangan persisnya, ia yakin langkah ini patut
diupayakan.
“Kami cuma ingin ada penyelesaian dari hulu ke
hilir. Selain itu, kami berharap dibuatkan sumur bor dan juga ada pengecekan
kesehatan untuk warga,” ungkap Rosman.
Ia juga menegaskan bahwa desakan warga bukan
bentuk kemarahan atau permusuhan. Sebaliknya, warga sangat memahami
kompleksitas persoalan pengelolaan sampah di Kota Cirebon. Bahkan, Rosman tidak
menutup mata bahwa sebagian sampah yang mencemari lingkungan juga berasal dari
masyarakat sendiri.
Namun demikian, ia menekankan pentingnya
tanggung jawab bersama. Jika masalah ini dibiarkan terus menerus, bukan hanya
lingkungan yang rusak, tetapi generasi mendatang juga harus menanggung
dampaknya.
Aksi Demo dan Simpul Keresahan Warga
Di tengah semangat warga untuk mencari solusi,
isu tentang rencana aksi demo sempat mencuat. Kabar ini beredar karena pada
Selasa, 15 Juli 2025, pihak Mèrtika melakukan wawancara kepada Sugiyono
warga RW 7. Mèrtika bertanya soal
kebenaran unjuk rasa yang akan digelar pada Kamis, 17 Juli 2025.
Warga yang akrab disapa Ugi oleh masyarakat RW
7, dengan tegas membantah rencana tersebut. Ia mengaku terkejut dengan
pertanyaan dari pihak Mèrtika yang seolah-olah mengonfirmasi adanya aksi.
“Enggak! Jangan sampai ada kambing hitam.
Untung kalian datang ke saya. Kalau ke warga, kebanyakan udah gak pada percaya.
Ada mahasiswa datang, wartawan datang, tapi hanya untuk kepentingan pribadi
mereka,” ujar Ugi, menunjukkan keresahan yang selama ini dipendam warga.
Menurut Ugi, warga RW 7 masih ingin
menyelesaikan masalah secara damai. Mereka tidak ingin ditunggangi oleh agenda
kelompok luar atau dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang hanya mencari panggung.
Ia mengingatkan bahwa kondisi realita warga sudah cukup tertekan dengan
pencemaran yang tak kunjung diatasi, dan isu-isu seperti ini bisa memicu
gesekan baru jika tidak dikelola dengan baik.
Menuju Pemecahan Masalah dari Tanggapan DLH
Permintaan warga Argasunya sebenarnya sederhana. Mereka tidak muluk-muluk, tidak pula menggugat dengan kemarahan. Yang mereka inginkan adalah penyelesaian atas pencemaran lingkungan yang sudah puluhan tahun mereka hadapi. Akses air bersih dan perhatian terhadap kesehatan masyarakat menjadi harapan utama di tengah udara yang pengap dan tanah yang semakin tercemar.
Pada Kamis 17 Juli 2025, belasan mahasiswa yang tergabung dalam Forum Diskusi Mahasiswa 45 (Fordisma' 45) menggelar aksi di depan Gedung DPRD dan Balai Kota Cirebon. Mereka menuntut evaluasi serius terhadap dampak pencemaran lingkungan dari Tempat Pembuangan Akhir atau TPA Kopi Luhur, khususnya terhadap warga RW 7 dan RW 4 di Kelurahan Argasunya yang selama ini berada di garis depan terdampak.
Aksi itu tidak sekadar orasi. Mahasiswa juga menyerahkan sampel air limbah dari bak kontrol yang mereka ambil di lingkungan warga untuk diuji lebih lanjut. Respons dari pemerintah daerah cukup cepat. Esok harinya audiensi antara mahasiswa, perwakilan warga, dan Dinas Lingkungan Hidup atau DLH digelar.
Dalam forum itu DLH untuk pertama kalinya mengungkap bahwa TPA Kopi Luhur memang telah disorot oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Bahkan DLH Kota Cirebon pernah dikenakan sanksi atas pelanggaran pengelolaan limbah. Sebagai tanggapan mereka mengaku telah melakukan sejumlah pembenahan internal.
Upaya yang dimaksud mencakup penutupan bertahap aktivitas open dumping penanganan dampak limbah pasca penutupan pengurangan dan pengelolaan sampah dari sumbernya serta rencana penerapan sistem sanitary landfill.
Meski terdengar sebagai langkah maju kebijakan ini masih menyisakan banyak pertanyaan. Hingga kini DLH baru menjalankan pendekatan control landfill yaitu menutup sebagian area pembuangan tanpa sistem pengolahan terpadu. DLH menyebut keterbatasan anggaran menjadi alasan utama belum terlaksananya sanitary landfill secara menyeluruh.
Situasi ini menuai tanggapan dari Doni salah satu perwakilan mahasiswa yang juga merupakan warga terdampak. Ia menyatakan belum ada titik temu dalam audiensi karena akar persoalan tidak benar-benar disentuh.Keterbatasan anggaran seharusnya bukan jadi alasan untuk terus membiarkan masalah ini menggantung. Bahkan Doni menilai Wali Kota harus turun tangan.
“Kita harus bertemu Wali Kota agar deadlock hari ini ada lanjutannya. Dan untuk mahasiswa kami telah menyampaikan hal-hal prioritas untuk menangani permasalahan tersebut.” tegas Doni usai audiensi pada Jumat 18 Juli 2025.
Salah satu ketegangan utama dalam audiensi antara warga Argasunya, mahasiswa, dan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Cirebon adalah perbedaan hasil pengujian terhadap sampel air limbah. DLH menyatakan bahwa belum ditemukan indikasi pencemaran yang signifikan terhadap lingkungan permukiman warga. Pernyataan tersebut merujuk pada hasil uji laboratorium terhadap sampel air yang mereka ambil dari wilayah Kedung Kerisik, sebuah titik yang secara geografis cukup jauh dari zona inti TPA Kopi Luhur.
"Hasil pengujian menunjukkan kadar pH-nya masih mengandung oksigen yang cukup sehingga belum dikategorikan sebagai air tercemar" ujar Fina Amalia, Sekretaris Dinas Lingkungan Hidup Kota Cirebon, dalam audiensi bersama warga dan mahasiswa.
Terkait keluhan air bersih, Fina juga menyampaikan bahwa pemerintah sebenarnya telah mengambil langkah. Namun pihaknya belum mendapatkan arahan lebih lanjut. Hal ini dinyatakan ketika dikonfirmasi terkait aspirasi warga bersama kelurahan dan LPM yang tengah dijembatani DLH.
"Ketersediaan air sudah disampaikan ke pimpinan. Jadi warga butuh air bersih. Saya bilang selama ini drop air bersih sudah ada, tapi bukan drop, melainkan tersedia selalu," tambahnya, menegaskan bahwa distribusi air bersih dilakukan secara kontinu.
Namun, klaim DLH tersebut berbeda dengan temuan mahasiswa yang tergabung dalam Forum Diskusi Mahasiswa (Fordisma’45). Mereka mengambil sampel air dari wilayah Palinggihan, lokasi yang letaknya lebih dekat dengan pusat aktivitas pembuangan di TPA Kopi Luhur. Air dari lokasi ini tampak keruh, berbau, dan mengandung padatan limbah.
Meski hasil laboratorium dari sampel mahasiswa belum diumumkan secara resmi, lokasi pengambilan yang lebih dekat dinilai lebih representatif terhadap kondisi nyata yang dihadapi warga sehari-hari. Perbedaan titik pengambilan ini memicu perdebatan tentang validitas hasil uji laboratorium DLH. Warga dan mahasiswa menilai bahwa titik yang dipilih DLH terlalu jauh untuk mencerminkan dampak langsung pencemaran, sementara temuan lapangan mereka justru memperlihatkan kondisi air yang sudah tidak layak.
Bagi warga Argasunya persoalan ini bukan semata soal teknis atau administrasi kebijakan. Ini tentang bagaimana mereka bertahan hidup di tengah krisis yang belum ditangani secara serius. Sementara bagi DLH tantangan yang dihadapi bukan hanya membenahi sistem pengelolaan sampah melainkan membangun kembali kepercayaan masyarakat yang telah lama terkikis.
Belajar dari Negeri Orang: Mengapa Kita Harus Berubah?
Langkah-langkah yang dirancang DLH dan pemerintah Kota Cirebon pasca sanksi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memang tampak sebagai bentuk tanggung jawab. Mulai dari penutupan open dumping, perencanaan sanitary landfill, hingga pengelolaan air lindi, semua dicatat sebagai komitmen dalam dokumen resmi berupa Surat Keputusan tertanggal 17 Juni 2025.
Namun jika ditelaah lebih dalam,
langkah-langkah tersebut sesungguhnya tidak menyentuh akar masalah. Model sanitary
landfill yang hendak dijalankan hanya sekadar wajah baru dari open dumping
(buang-timbun) yang selama ini digunakan. Metode penimbunan sampah bertahap
hanya menghilangkan bukan mengatasi, permasalahan akan timbunan sampah yang
terlihat, metode tersebut akan menemui jalan buntu dalam jangka panjang.
Apalagi di tengah krisis ekologi yang menuntut sistem pengelolaan sampah yang
lebih radikal dan berorientasi pada keberlanjutan.
Di luar negeri seperti Jepang, sampah tidak
ditimbun secara mentah dengan dalih sanitary landfill. "Sanitary" itu lekat
kaitanya dengan pembersihan, artinya sampah dikelola sebelum dilepas dan
disatukan dengan lingkungan, meskipun dengan cara ditimbun. pendekatan yang
digunakan adalah Purposed Disposal atau Pembuangan tertuju. Contoh nyata
dari strategi jangka panjang ini adalah pembangunan Bandara Internasional Chūbu
Centrair, Bandara Internasional Kansai, dan Pulau Odaiba di Teluk Tokyo,
yang dibangun di atas lahan hasil timbunan sampah. Pembangunan Pulau
Odaiba, yang memakan waktu lebih dari satu abad, menunjukkan visi nasional
jangka panjang yang luar biasa.
Pengelolaan sanitary yang dimaksud adalah
dengan Insinerator. Program ini bukan
sekadar membakar sampah. Abu hasil pembakaran dimanfaatkan untuk konstruksi,
sementara panas dari insinerasi diubah menjadi tenaga listrik sebagai pengganti
batu bara. Yang lebih penting, partisipasi publik dalam memilah sampah menjadi
kunci keberhasilan sistem ini. Di sana, sampah tidak dibuang, tetapi dikemas
rapi sesuai dengan kategorinya masing-masing. Bahkan sebelumnya, wadah sisa
makanan harus dicuci terlebih dahulu untuk mencegah pembusukan dan bau.
Partisipasi semacam itu merupakan katalisator perubahan.
Cirebon mungkin belum bisa meniru Jepang
secara penuh. Namun, harapan akan perubahan bukan utopia. Dimulai dari
keberanian untuk menyebut masalah apa adanya, hingga dorongan kuat dari warga
dan mahasiswa untuk melampaui solusi tambal sulam, semua menjadi sinyal bahwa
kebangkitan bisa dirancang dari kampung-kampung yang terdampak.
Penulis: Raihan Athaya Mustafa & Alfa Julian

0 Komentar